Minggu, 29 November 2020

Makalah Hak-Hak Asasi Insan

BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Hak-Hak Asasi Manusia

Ketika insan lahir ke wajah bumi, jeritan dibarengi tangisan menghiasi perjalanan hidup insan, hal ini menerangkan bahwa setiap individu sudah merasakan secara naluri bagaimana hak dan kewajibannya ketika lahir. Penyelewengan, penipuan, pembunuhan karakter dan sebagainya telah mewarnai kehidupan dlm manusia itu sendiri.

Hak asasi insan (HAM) secara sederhana merupakan sesuatu proses atau tata cara dlm diri manusia, untuk merealisasikannya dibutuhkan suatu pola akurat dan jitu semoga hak-hak tersebut dapat berjalan sesuai dengan fitrah dan kodratnya masing-masing. Katagori hak insan sampaumur ini selalu diartikan sempit, padahal banyak pakar berkomentar luwes tentang hal tersebut. Islam mendukung sepenuhnya eksistensi hak anak manusia mulai dari penciptaan sampai kematiannya. Pembodohan hak inilah akan menjadikan secercah fenomena sosial penduduk kita, ketika diaplikasikan.

Dalam mendeskripsikan hak asasi insan (HAM), penulis membuat suatu stressing dianggap layak untuk dibahas dalam paparan makalah ini, antara lain : Lahirnya Deklarasi universal Hak-hak asasi manusia, Hak dalam pandangan Islam, Deskripsi Hak Manusia menurut Deklarasi PBB, Fenomena sosial dlm tatanan Hak Manusia secara global, Persoalan rakyat menyangkut status dan hak-haknya.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Hak-Hak Asasi Manusia

A. Lahirnya Deklarasi Universal Hak asasi Manusia/HAM
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sehabis menegaskan akan perlunya memelihara perdamaian serta keselamatan dunia, memastikan pula wacana pentingnya bangsa-bangsa di dunia ini untuk memperhatikan tentang hak asasi insan, martabat dan kehormatan individu, kesamaan hak asasi manusia baik pria maupun wanita, juga perlakuan negara-nagara besar terhadap negara kecil secara masuk akal.

Tujuan utama dari Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut yaitu untuk merealisasikan koordinasi internasional dlm mengatasi persoalan-problem dunia di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan juga kemanusiaan serta untuk menghormati hak-hak seluruh umat manusia dlm hak asasi insan, mendukung ke arah itu secara mutlak tanpa membeda-bedakan bangsa, bahasa, agama juga tanpa membeda-bedakan pria ataupun perempuan.

Meskipun Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui adanya lebih dulu fenomena terpopuler adalah sebagai hak-hak insan/hak asasi insan, namun piagam tersebut tidak merinci dan tidak memuat daftar hak-hak asasi manusia untuk dihormati, kemudian tidak mengacu pada sebuah sumber untuk menyebutkan secara sempurna hak-hak yang perlu dihormati. Pada waktu perumusan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dirancang, pernah ada beberapa undangan dari beberapa negara agar dicantumkan daftar hak-hak beberapa negara. Namun demikian, Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang, perlu untuk menyusun suatu Bill of Rights International dalam waktu setahun sesudah piagam itu diberlakukan.

Tugas menyusun Bill of Rights international sebagaimana tersebut di atas, diserahkan terhadap Commision of Human Rights (Komisi Hak Asasi Manusia) ialah abdnegara dari Economic and Sosial Council (ECOSOC). Komisi ini bertugas menciptakan detail ihwal hak-hak asasi insan lalu mesti dihormati oleh setiap manusia di wajah bumi ini, di samping itu komisi ini juga diberi wewenang untuk merencanakan desain acara internasional perihal hak-hak asasi insan berkenaan dengan piagam PBB, serta memberikan penjelasan kesepakatan tentang hak-hak sipil, kedudukan perempuan, larangan diskriminasi secara terarah kepada ras, bangsa, bahasa dan agama.

Komisi Hak Asasi Manusia/HAM sudah bersidang dan membentuk beberapa komisi berdasarkan tugas diberikan kepadanya. Setelah melalui perdebatan panjang, maka lahirlah “Universal Declaratiaon of Human Rights” atau disebut Deklarasi Internasional wacana hak-hak asasi insan/HAM, ditetapkan pada sidang lalu menetapkannya pula atas dasar kesepakatan anggota-anggotanya, kecuali empat negara bolos. Akhirnya pada tanggal 10 Desember 1948, Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan desain deklarasi universal wacana hak-hak asasi manusia/HAM dipersidangan di Paris. Kemudian pada hari berikutnya sidang UNESCO menyepakati pula seluruh isi deklarasi tersebut.

Deklarasi universal wacana hak-hak asasi manusia/HAM pada bentuk terakhir memuat daftar hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosioal budaya untuk menjadi hak semua orang tanpa terkecuali. Deklarasi ini sama sekali tidak menampung lembaga atau mekanisme yang akan menjamin diindahkannya hak-hak itu. Pada mula disahkan deklarasi tersebut, semua menteri ada dalam bentuk mengikat secara non aturan, namun secara prakteknya di kemudian hari telah mengubahnya menjadi sebuah alat untuk memiliki kekuatan yuridis, meskipun status hukumnya masih terjadi pro dan kontra.

Meskipun banyak kesusahan PBB untuk upaya memantapkan metode universal untuk melindungi hak asasi insan/HAM, namun PBB sudah berbuat banyak guna mengatasi dilema ini secara khusus. Lebih dari 50 perangkat hak-hak asasi manusia telah dirundingkan di bawah pengawasan PBB. Sebagian besar dirancang oleh kalangan kerja dari komisi PBB mengenai hak-hak asasi insan/HAM (badan berada di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial).paling gres yakni Konvensi perihal hak-hak anak yg dicetuskan oleh komisi awal 1989.

Teori sosial sering berkembang lebih pesat dari prakteknya. Akan namun sering pula teori itu tertinggal jauh ke belakang. Keadaan yg mendesak dan peluang pengalaman menimbulkan balasan-tanggapan yg tampaknya dapat dan diperlukan jauh sebelum kita dapat membenarkan mereka. Ini utamanya tampakpada gerakan-gerakan untuk hak-hak asasi manusia/HAM. Meskipun kesadaran mengenai pentingnya /hak asasi manusiaHAM makin berkembang dan berkembang luas, dan gerakan-gerakan serta alasannya adalah-sebab yg menyuarakan hak asasi manusia/HAM ataupun hak-hak lainnya menjadi beragam-ragam, kurang literatur teoritis di bidang ini masih dinikmati, jika ketimbang literarur lain dengan tema filsafat. Literarur terkini, masih sungguh sementara sifatnya dan membingungkan, dan adakala ialah kesangsian dlm memandang hakikat, realitas, serta apa yg disebut dasar-dasar hak asasi manusia/HAM

Namun demikian, tuntutan atas hak-hak manusia/hak asasi manusia itu terus berjalan. Sebagaimana jerit tangis untuk mencari keadilan dlm makna apapun, Tuntutan-permintaan itu bermuara dari adanya rasa frustasi dan kekecewaan turut mendorong keputusan bahwa segala sesuatu, dan memang sebaiknya menjadi lebih baik dari kondisi kini. Semakin luasnya tuntutan tersebut kelihatannya bukan dipengaruhi oleh kesulitan dlm analisis matematika. Atau realisasinya tidak bergantung pada hal-hal semacam itu melainkan besar lengan berkuasa pada kekuasaan yang relatif dari orang-orang yang mendukung atau menentang tuntutan-tuntutan ini.

Konsekuensi terpenting dari kesangsian tentang kesahihan dari teori manapun mengenai HAM ialah kecenderungan yg mendorong kita untuk melihat teori itu sekadar sebagai topeng ideologi dari korelasi-korelasi kekuasaan belaka. Sejumlah argumentasi telah diberikan untuk membenarkan penolakan bahwa hak asasi insan itu ada atau mampu kita ketahui keberadaannya. Alasan-alasan tersebut antara lain : Kadang kurun orang mempunyai pandangan bahwa hak asasi manusia/HAM tidak pernah ada sebab tidak ada hal-hal seperti itu sebagai hak-hak budbahasa secara keseluruhan. Dan ini artinya bahwa kita tidak akan pernah bisa menunjukkan landasan-landasan yanng sahih dan obyektif untuk keputusan moral apapun.

Kadang-kadang orang berpendapat bahwa tidak ada HAM/hak asasi insan di dalam metode budpekerti manapun, kecuali jika hak tersebut ditafsirkan secara muthlak, tak bersyarat, atau tidak dapat dipisahkan. Pandangan ini tersirat dalam beberapa pakar aturan berpikiran liberal. Asumsi ini tidak mengandung pengertian apa-apa dalam ungkapan dlm penggunaannya, kecuali atas dasar anggapan bahwa hanya ada satu hak muthlak atau jikalau adapun lebih dari satu, bahwa kita mampu menunjukkan argumentasi besar lengan berkuasa untuk mempercayai bahwa semua HAM/hak asasi insan dapat selaras satu sama lain dan dalam keadaan yg tak mampu diperkirakan atau diandalkan hak-hak tersebut akan saling berlawanan.

Perbedaan terperinci antara keharusan dan hak prima facie,1 lalu keharusan dan hak muthlak tampaknya ialah sebuah analisis yg sudah memadai kepada problem yag kita hadapi. Semua hak manusia/HAM memiliki validitas prima facie di dalam situasi di mana hak tersebut berkaitan, namun hak-hak itu tidak secara muthlak dan niscaya mengikat tingkah laku dlm setiap perkara khusus apapun, walaupun hak-hak itu harus dipertimbangan. Kita tidak mampu menyampaikan hak mana secara pasti mengikat, alasannya kita tidak dapat mengenali mana lebih dahulu suatu hak bertentangan dengan hak lain. Di sisi lain konsekuensi-konsekuensi ketaatan dan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban demikian kompleks dalam tatanan bobot yg tidak stabil dan tidak konstan, sehingga tidak ada hirarki dapat ditegakkan sebelumnya untuk membimbing kita untuk masuk ke semua lini suasana konstruktif.

3. Sumber kesangsian lainnya tentang HAM/hak asasi insan muncul oleh sebab adanya perbedaan-perbedaan dalam daftar hak insan/hak asasi insan (HAM), sebagaimana hal itu terlihat diberbagai deklarasi hak-hak asasi insan/HAM. Keberatan ini memperlihatkan kesalahan rancangan amat besar wacana tujuan atau kegunaan penempatan hak-hak semacam itu. Daftar tersebut tidak terlepas dari pengaruh historis-fungsional. Upaya apapun untuk menyebutkan hak-hak insan/hak asasi manusia satu persatu menawarkan referensi sejarah.2

B. Hak Asasi manusia/HAM Dalam Pandangan Islam
Berbicara tentang hak-hak asasi insan/HAM dalam Islam secara langsung, kita lantas berpikir mengenai metodologi yg dipakai dalam menyingkapi persolaan yg terjadi. Masalah utama dihadapi berasal dari pendekatan orientalis, oleh para analis berpendapat bahwa jikalau Barat dan Islam dihadapkan dlm polemik hak manusia, maka mereka mengambil budaya dan norma-norma mereka selaku tumpuan dan membuatnya selaku modal dlm memperbandingkan peradaban dan tatanan lain. Parameter susila, aturan, politik yg dibuat selaku tujuan bantuan penghargaan terhadap Islam disusun dengan bentuk-bentuk istemewa yang meragukan.

Sarjana Barat jarang mengunakan agama Kristen sebagai titik tolak untuk menjelaskan kemajuan-perkebangan yg berlaku di Eropa beberapa dekade kemudian. Namun dalam membuktikan kejadian-peristiwa di negara-negara Muslim, mereka condong dan hampir senantiasa memakai istilah-istilah keagamaan. Menjadikan Islam selaku dalih atau penyebab tradisionalisme di satu sisi, atau revolusi di segi lain, merupakan kecenderungan yg sudah berlangsung dan sudah mencapai puncaknya semenjak jatuhnya rezim Syah di Iran. Kita condong beropini bahwa dogma dan praktek-praktek keagamaan, tradisi dan hal-hal lain dinilai tabu tidak dapatdianggap bertanggung jawab atas insiden di dunia Islam kini. Sebenarnya daripada melihat Islam selaku kesatuan independen dari satu hakikat gaib, lebih baik memandang kita memandang negara, pemerintahan atau penduduk Islam selaku satu komponen kekuasan solid mengenai soasial-politik dengan pergeseran dengan berbagai rezim politik, gaya kognitif dan sistem ekonomi berlawanan.

Masalah kedua berasal dari interpretasi bertentangan sebagaimana disediakan oleh para sarjana Islam sendiri. Bagi sementara sarjana Islam, keinginannya membantah persepsi orientalis telah bergeser menjadi penolakan, sikap mengagungkan Islam sudah menjadi semacam apologi hingga mencapai titik di mana mereka mengharapkan bahwa apapun untuk ditemukan diluar batas-batas orang-orang Islam niscaya memiliki batasan dalam diri mereka, seperti : gagasan intelektual, pengalaman-pengalaman politik, desain-rancangan dan penemuan ilmiah. Baik hak-hak insan/hak asasi insan maupun kodifikasi kemanusian bukanlah merupakan pengecualian bagi para pemikir Muslim, dengan segara mampu menunjukkan bahwa, meskipun baru saja dilembagakan hak-hak asasi manusia/HAM dan kodifikasi kemanusian tersebut, hal-hal semacam ini bahkan telah dilakukan pada zaman permulaan Muhammad Saw.3

Menurut pandang sarjana Muslim yang lain, sejarah Islam bukan saja rangkaian insiden yg tak mampu dipisahkan (yakni terdapat sebuah perkembangan historis tunggal mempunyai kaitan dengan semua penduduk yg memiliki agama sama). Namun demikian negara-negara modern sampaumur ini tidak memiliki kesamaan dengan penduduk kecil dalam menyaksikan faktor yg dibutuhkan masyarakat dalm tatanan kebutuhan pokok.

Dari beberapa literatur, dapatlah disimpulkan bahwa hak-hak asasi manusia/HAM yaitu sebuah tanggung jawab yg telah ada sejak manusia lahir atau dengan kata lain hak dasar insan. Hak tersebut tergolong dalm katagori keleluasaan dan kemerdekaan. mencakup hak hidup, hak menerima sesuatu, keleluasaan bersikap tanpa ada penghalang. Dalam Islam hak asasi insan/HAM, harus sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian selaras dan sepadan, tanpa melihat perbedaan di kalangan masyarakat sosial walaupun di sana-sini masih ada. Al-qur’an dan sunnah merupan cerminan hak asasi manusia/HAM untuk acara up to date .

C. Deskripsi Hak Asasi Manusia/HAM Menurut Deklarasi Hak Universal PBB
Pollis dan Schwab menyimpulkan dalam esai mereka, “Hak asasi insan/HAM : Suatu konstruksi Barat dengan keberlakuan terbatas dengan penonjolan keberatan secara biasa terhadap etnosentrisme.4 Sayangnya tidak cuma hak-hak asasi insan/HAM diajukan dlm Deklarasi Universal yg diprakarsai selaku bias barat, melainan ada kecenderungan untuk menatap hak tersebut secara ahistoris dan dipisahkan begitu saja dari konteks lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.5

Kritik mirip itu sering ditujukan pada pernyataan-pernyataan wacana hak-hak langsung, hiburan, status, kesepakatanperkawinan, bentuk-bentuk hukuman, dan beberapa jaminan politik dan perdata, mirip mekanisme-prosedur pemilihan dimuat dalm beberapa dokumen hak-hak asasi manusia/HAM lalu akan diakui secara internasional. Kecaman tersebut merupakan manifestasi dari budaya yng terlalu sempit dan pengalaman sejarah dalam hal-hal tertentu saja. Tudingan lain muncul alasannya adanya tuduhan serius dan menantang. Para pembela hak-hak asasi insan/HAM perlu menghadapi secara jujur dan menanggapinya secara teliti dan seksama. Apakah semua hak dimuat dalam dokumen-dokumen itu sama-sama mengikat siapa pun dimanapun, atau berapakah hak yg tunduk pada kebijaksaan kultural dan nasional, dan sejauhmana kebijaksaan tersebut diaplikasikan, mungkinkah masing-masing pemerintah dan budaya memilih dengan sederhana di antara daftar-daftar hak dalam hak-hak manusia/HAM (hak asasi insan), dan menentukan hak-hak mana mengikat dan tidak, singkatnya dari sejumlah kendala itu, apakah ukuran standar dari pemerintah dan budaya, atau pemerintahan dan budaya merupakan barometer hak asasi manusia/HAM?.

Fenomena demikian ialah problem-dilema besar yang mengagetkan. Persoalan itu juga mewarnai teori tabiat, hukum, politik dan ekonomi, tergolong studi adat perbandingan. Penulis tidak mengawali dan menawarkan jawaban yang komprehensif, dan bahkan tidak ragu kepada argumentasi tanggapan dari pakar-pakar hak asasi manusia selama rasional dengan tidak mengeyampingkan sikap hormat kepada refleksi duduk perkara hak asasi insan dan selalu terseru perihal hak asasi manusia/HAM.

Sejumlah keberatan umat Islam untuk pertama kalinya tercatat pada tahun 1948, selama pembahasan sekitar Pasal 18 Deklarasi Universal yang dinyatakan: “Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, nurani, dan agama; hak ini tergolong kebebasan untuk merubah agama dan kenyakinan, dan keleluasaan, baik sendiri atau dalam penduduk lainnya, baik dalam masalah publik atau privaat dalam mengungkapkan aliran, praktek, ibadah dan ketaatan agama atau keyakinannya dalam pengajaran”6 Dalam tanggapannya, sejumlah negara Islam (utamanya Arab Saudi) berusaha untuk meniadakan pasal tersebut. Dan dari dalih pasal itu, mereka menawarkan kambing hitam lainnya– Libanon, contohnya-untuk mendukung pernyataan Saudi tersebut, mereka beranggapan bahwa hak-hak kaum Muslim Libanon akan rusak oleh kata-kata dalam pasal itu.

Keberatan-keberatan yang serupa diajukan oleh beberapa negara terhadap pasal itu yang lebih rinci dari versi keleluasaan agama yang dimuat dalam naskah Konsep Kovenan Internasional wacana Hak-hak Sipil dan Politik, yang belakangan disetujui dan dinyatakan bahwa: “Tak seorangpun boleh tunduk pada paksaan yang akan merusak keleluasaan untuk menganut agama atau kenyakinan yang menjadi pilihannya” (Pasal 18 ayat 2). Dan pasal 26 Kovenan itu menambahkan ketentuan baru lain yang menjamin tunjangan aturan yang serupa terhadap bentuk deskriminasi atas dasar apapun mirip ras, jenis kelamin, agama.

Pembahasan sekitar Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia/HAM di Perserikatan Bangsa-Bangsa memperlihatkan titik pangkal yang unik terhadap penelitian mengenai Islam dan keleluasaan agama. Hal ini bersifat diskusi Internasional, dan karena pasal-pasal tertentu dari Deklarasi itu mengarah pada duduk perkara-problem yang berhubungan dengan kebebasan agama secara langsung-utamanya pasal 18, yang menawarkan hak tehadap keleluasaan nurani dalan memilih dan mempraktekkan keyakinan agama, tergolong hak untuk pindah agama. Persoalan ini merupakan ketetapan yang paling menjadikan pertikaian antara negara-negara Islam Saudi Arabia dan Pakistan.7

D. Fenomena Sosial Dalam Tatanan Hak Asasi Manusia/HAM Secara Global
Melindungi Hak Asasi Manusia dominan dan minoritas di atas permukaan bumi harus dipertahankan. Alasannya yang cukup besar lengan berkuasa, struktur kekuasaan tata dunia baru sungguh tidak seimbang. Kekuasaan politik, militer, ekonomi, teknologi dan budaya berada di tangan elite. Tata dunia gres sebenarnya hanyalah slogan, kata-kata jebakan yang diciptakan untuk melanggengkan teladan dominasi dan kontrol Barat yang satu atau lain bentuk, dimana sudah bercokol selama hampir sepanjang dua ratus tahun terakhir. Karena tujuan utamanya yakni untuk melayani kepentingan yang berkuasa, dunia akan terus menyangkal dan mencabut kemanusiaan dari hak-haknya. Ketika sebuah metode diorientasikan hal kuat atau memiliki hak istemewa, maka hak orang akan umumberada dalam bahaya. Ini adalah fakta yang terjadi berulang kali pada tingkat negara-kebangsaan. Betapapun komprehensipnya hak untuk dijanjikan terhadap rakyat dalam konstitusi suatu negara, realisasi aktualnya tergantung pada sejauhmana struktur kekuasaan yang terdapat dalam penduduk tersebut melaksanakannya. Apabila kekuasaan terdistribusi secara merata, amat boleh jadi warga negara akan menikmati hak-hak yang diberikan kepadanya.

Sebaliknya, bila kekuasaan terpusat pada level elite penduduk , maka hak asasi insan lebih memungkinkan untuk dilanggar ketimbang ditaati. Disamping itu, tidak seperti banyak negara sekarang ini yg mematuhi sejumlah kecil amanat balasan dari politik perwakilan, tata cara global tidak memiliki tanggung jawab terhadap ras manusia. Lembaga-forum kekuasaan yang mendominasi sistem global tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Apartheid global bukan hanya menganugerahkan kekuasaan dan kekayaan terhadap minoritas istemewa melainkan juga menjamin bahwa mereka yang memegang kendali (control) akan mampu menjaga dan melanggengkan posisi mereka lewat hukum, institusi, dan nilai yang sesuai dengan kepentingannya. Sebagian bahkan berpendapat bahwa mirip apartheid konvensional, terdapat pula unsur rasis lembut namun kuat dalam apartheid global.

Ketika kita menyaksikan hak asasi manusia dipermainkan dengan hal-hal yang dianggap legal, kita tidak menyadari bahwa setelah kebijakan yang dipraktekkan berlawanan dengan apa yang sudah diformulasikan, kepentingan demi kepentingan merupan aspek yang sangan secara umum dikuasai terjadi dalam perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia dewasa ini. Era modern sebagai wadah cukup signifikan terjadi gejala sosial masyarakat baik itu dari individu sampai lembaga berkompeten sekalipun. Indonesia sendiri yang 60 tahun merdeka, telah banyak meyepelekan hak yang ada pada insan, baik secara halus maupun terperinci-terangan. Banyaknya korban HAM/hak asasi manusia yg rela mengorbankan sesuatu untuk ibu pertiwi ini, namun apa yang mereka dapatkan sehabis darah, jiwa, air mata serta kepedihan dipertaruhkan. Kesengsaraan dan kegetiran hidup senantiasa menjadi fenomena sosial yang kerap kita lihat dimana-mana lewat media-media atau di lapangan. Masyarakat kita kurang tersentuh hatinya ketika menyaksikan duduk perkara orang lain, akan namun jikalau duduk perkara tersebut ada sangkut pautnya dengan keluarganya baik secara hubungan, maka beliau akan berontak dan pribadi sadar apa yang mesti dilakukan, tanpa menimbang-nimbang karenanya.

Pelanggaran HAM (hak asasi insan) di dunia Barat siapa yg dapat menghentikannya, pembantaian massal kaum Muslim Bosnia-Herzigovina siapa akan bertanggung jawab, pelanggaran hak asasi manusia atau HAM di Indonesia siapa yg mesti dikambing hitamkan. Lembaga peradilan kompeten sekalipun tidak akan bisa secara jujur mengungkapkan kejahatan-kejahatan tersebut. Dugaan tak bersalah ialah senjata ampuh untuk memperdaya masyakat yang awam akan hakekat dimensi aturan dan keadilan terselubung. Menanti terus menunggu merupakan sebuah kemunafikan sama membuat persepsi kita berpaling untuk memdapatkan kebenaran dan keadilan. Stratifikasi sosial salah satu andil masyarakat kita menyaksikan sesuatu duduk perkara, disinilah letak kebobrokan aturan negara kita.

Konflik terjadi dilingkungan kita disebabkan oleh berbagai ketidak puasaan yg dilakukan sekelompok orang yg iri terhadap kesenangan orang lain, pembunuhan, perkosaan, pencurian dan beberbagai penyelewengan bagaian kecil dari bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi insan/HAM. Dengan demikian pertentangan itu sungguh jelas. Pasal-pasal perihal kebebasan agama dan nurani dalam berbagai dokumen hak asasi insan nampak berbenturan, hal-hal penting dari banyak dilema yg telah ditetapkan dan fatwa Islam yg resmi wacana pemberlakuan kepada orang-orang murtad dan orang-orang non Islam yang dilindungi. Ada sekurang-kurangnya empat seni manajemen yg mungkin bisa kita gunakan dalam menghadapi pertentangan tersebut

Kita mampu saja mendukung ditariknya kembali semua pernyataan mendukung keleluasaan beragama dan nurani (atau barangkali kita mampu menyempurnakannya dengan tujuan sama, dengan cara menulis kembali pernyataan-pernyataan itu dengan maksud biar tidak berbahaya). Banyak masalah dengan balasan seperti ini. Apakah semua pernyataan hak asasi manusia/HAM mesti ditarik kembali atau dikebiri kapan saja saat berhadapan dengan oposisi. Akan namun lebih tepat lagi, bahwasanya ada sedikit dalam penduduk internasional, bahkan di kelompok orang-orang Islam, dalam mengambilangkah-langkah radikalsemacam itu. Orang-orang Islam, seperti halnya lain, tampaknya bisa saja menerima status hak asasi manusia tentang keleluasaan dan nurani, sepanjang hak-hak itu dibatasi sebagaimana mestinya sesuai dengan aliran tradisional.

Kita dapat menjajal untuk membantah bahwa ketaatan terhadap pernyataan-pernyataan keleluasaan agama yang ada memerlukan perizinan negara-negara Muslim, bersama-sama dengan setiap orang selain Muslim, kebijaksanaa untuk membatasi toleransi agama dan batas-batasnya dengan cara apa saja yang mereka tentukan. Maka kita akan membolehkan hak-hak orang Islam mengikutu hati nurani mereka sendiri, dan oleh sebab itu, tindakan kepada hak keleluasaan agama mereka dijamin secara internasional. Ada dua problem di sini. Pertama ialah dengan membiarkan semua persepsi tidak toleran, akan menciptakan budi sebaliknya, khususnya dikala perilaku tidak toleran mengarah pada keyakinan akidah tertentu dapat dilakukan. Kedua adalah adanya fakta bahwa pernyataan-pernyataan wacana hak keleluasaan agama yg ada secara eksplisit meliputi larangan-larangan berlawanan dengan kebijakan-kebijakan Islam tertentu.

Kita dapat berpegang teguh pada pernyataan wacana hak kebebasan agama yg ada dan mencoba untuk menetapkannya secara internasional dengan memakai perangkat-perangkat sama seperti dijalankan PBB contohnya, dari waktu ke waktu telah melaksanakan upaya memperkuat hak-hak politik, ekonomi, sosial dan hak-hak penduduk yang lain. Di samping itu, tanpa ada persetujuan bahwa suatu doktrin dengan keleluasaan agama memerlukan toleransi kepercayaan apapun, bahkan iktikad-iman memaksa perilaku intoleran, betul-betul menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan kultural tentang persoalan ini membuat kerumitan-kerumitan dan kebingungan bagi para pendukung HAM/hak asasi manusia tidak tercantum berkenaan dengan pelangaran-pelangaran yg lebih populer, mirip penganiyaan kasar terhadap para tahanan, musuh politik dan lain sebagainya.

Kita mampu mengatakan perdebatan kontemporer antara orang-orang Barat dan orang-orang Islam tentang kebebasan agama dan nurani sebagai kesempatan untuk menimbang-nimbang dasar-dasar dan sifat dari suatu akidah tentang kebebasan tersebut baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Jika dengan teliti, dievalusi secara kritis, konflik antara persepsi Barat dan Islam mengenai sesuatu yang sedemikian penting dan mendasar, seperti hak kebebasab dalam beragama dan nurani menjadi lebih konsisten dari diduga, memiliki banyak alasan untuk mulai menyerukan “ penerapan tanpa batas”8 dari Deklarasi Hak Munusia, sebagaimana diduga banyak orang.

E. Persoalan Rakyat: Status dan Hak-Haknya/hak asasi manusia
Menurut al- Maududi,9 anutan Islam mencakup sistem ajaran dan fatwa tingkah laris insan dan bermaksud untuk mendirikan negara berlandaskan Ideologi Islam sendiri. Untuk itu Islam membagi dua tipe kewarganegaraan : Muslim dan Dzimmi.

Dalam hal ini, kata al- Maududi, secara terus terperinci dan jujur membedakan warganya secara jelas dalam struktur politiknya, tanpa bersembunyi dibalik dekorasi kata-kata belaka. Misalnya sebagaimana banyak dilaksanakan oleh negara-negara yang di atas kertas menjamin persamaan hak antara warga negaranya, namun dalam kenyataannya, sepanjang kala mempraktekkan diskriminasi terhadap sejumlah penting warga negaranya. Ini dapat disaksikan misalnya dalam perlakuan tehadap kaum Negro (penduduk kulit gelap) di Amerika Serikat atau perlakuan kepada orang-orang non komunis di Rusia.

Dalam kenyataannya, kata al- Maududi10, semua negara modern sekarang terdapat perlakuan semacam itu dalam aneka macam tingkatannya. Dalam hal ini anutan Islam menempuh jalan paling rasional, adil dan terhormat. Jalan tersebut bagi al- Maududi bahwa sejak awal dan jelas-terangan fatwa Islam mengklasifikasikan dua lapisan warga negara berdasarkan ukuran agama : Islam dan non-Islam.

Di atas setiap bahu warga negara Muslim terletak kewajiban untuk mengadakan seluruh anutan Islam. Merekalah yang memikul kewajiban untuk melaksanakan aturan-hukumnya dan secara bersama-sama untuk mewujudkan aliran Islam dalam bidang keagamaan, moral, kebudayaan dan politik. Islam menaruh itu semua pada mereka dan meminta pengorbanan mereka dalam segala bentuknya supaya dapat mempertahankan ajaran tersebut.

Di segi lain, praktek perkawinan kepada sesama TKI di luar negari menjadi sebuah kajian hukum mengenai status anak yang dlahirkan tersebut baik itu tentang status kewarganegaraan maupun faktor-faktor yg muncul di lalu hari.11 Status buruh yg bekerja diluar negeripun kian gencar-gencarnya diperjuangkan agar kepastian hukum kita sepadan dengan hukum negara lain.

BAB III
PENUTUP
Makalah Hak-Hak Asasi Manusia

Akhir selesai ini problem Hak Manusia/hak asasi manusia (HAM) kembali mencuat ke permukaan dan banyak dibicarakan di mana-mana. Ini menerangkan bahwa insan sedang menuju kepada pemahaman jati dirinya sendiri, Hak-hak asasi manusia mengharapkan adanya kebebasan atau kemerdekan. Di saat penduduk dunia sedang gundah menghadapi terpaan arus globalisasi dan modernisasi, penegakan hak asasi insan/HAM itu sendiri ditenggarai sebagai bagian dari proses demokratisasi, utamanya di negara-negara sedang berkembang. Islam jauh hari sudah membuat suatu legitimasi hukum besar lengan berkuasa perihal hak-hak individu manusia, semenjak dari alam rahim sampai mampu berinteraksi sesamanya. Hak untuk beragama dan berkeyakinan merupakan hak mutlak setiap manusia dalam mengerti dan mengerjakan ajarannya.  Pelanggaran HAM/hak asasi manusia akil balig cukup akal ini kerena ada aneka macam kepentingan dari kebijakan penguasa yang kurang meperhatikan aspek-aspek nilai meningkat dalam masyarakat, banyak masalah-perkara pencemaran nama baik, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan kreativitas dalam berkreasi menjadi persoalan HAM/hak asasi insan kian kompleks. Ajaran Islam dan nilai-nilai terkandung di dalamnya menjadi penyelesaian alternatif. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
  • Little, David, John Kelsey dan Abdul al-Azis A. Sachedina. Human Rights and the Complict of Cultures: Western and Islamic Perspectives on Religious Liberty, Terj. Riyanto, Cet. I. yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1997.
  • al- Maududi, Abu al-A’la. Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Publication LTD, 1967.
  • Muhammad, Rusjdi Ali. Hak Manusia, Dalam Perspektif Syari’at Islam. Cet. I. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.
  • Nasution, Harun dan Bahtiar Effendy. Hak asasi insan Dalam Islam, Cet. I Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Pustaka Firdaus, 1987.
  • Piscatory, James P. Human Rights and Islamic Political Culture, Moral Imperative of Human Rights, (ed) Kenneth W. Thompson. Washington: University Press of America, 1980.
  • Pollis, Adamantia dan Peter Schwab. Human Rights: Cultural and Ideological Perspectives. New York: Praeger, 1979.
  • Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia, Cet. II. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
  • Vatin, Jean Claude. Human Rights in Islam, dalam Philosophy and Public Policy. Southen Illinois: University Press, 1980.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon