Senin, 07 September 2020

Makalah Realitas Dan Posisi Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Masalah pendidikan, berdasarkan Malik Fajar, yaitu problem yang tidak pernah tuntas untuk dibicarakan, sebab itu menyangkut problem manusia dalam rangka memberi makna dan arah wajar terhadap eksistensi fitrinya.[1] Persoalan-problem yang dihadapi dunia pendidikan tersebut digambarkan oleh John Vaisey sebagaimana dikutip oleh Muis Sad Iman, dengan menyatakan bahwa setiap orang yang pernah menghadiri pertemuan Internasional di tahun-tahun terakhir ini pasti merasa kagetakan banyaknya problem pendidikan yang memenuhi agenda. Makin lama semakin jelas bahwa organisasi-organisasi internasional itu merefleksikan apa yang terjadi di semua Negara di dunia. Hamper tidak ada satu Negara pun cukup umur ini dimana pendidikan tidak ialah topik utama yang diperdebatkan.[2]

Bagaimana dengan pendidikan Islam di Indonesia? Kondisi pendidikan Islam di Indonesia, sebetulnya menghadapi nasib yang serupa, dan secara khusus pendidikan Islam menghadapi aneka macam masalah dan kesenjangan dalam banyak sekali faktor yang lebih kompleks, adalah: berupa problem dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara fundamental, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaharuan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh serta sebagian besar tata cara dan lembaga pendidikan Islam belum diatur secara professional.[3]

Realitas pendidikan Islam di Indonesia mampu kita lihat dari dua sudut, ialah: akad pemerintah dalam penyusunan UU Sisdiknas 2003 dan kenyataan kondisi pendidikan Islam di Indonesia cukup umur ini. Oleh alasannya itu, dalam makalah ini akan dibahas perihal posisi pendidikan agama (Islam) dalam UU Sisdiknas 2003 dan realitas pendidikan agama/forum pendidikan agama (madrasah/pesantren) di mata sebagian masyarakat Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Pendidikan, Pendidikan Nasional, dan Pendidikan Agama Islam di Indonesia

a. Pendidikan berdasarkan UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (1) adalah:

Usaha sadar dan berkala untuk merealisasikan situasi mencar ilmu dan proses pembelajaran biar penerima asuh secara aktif membuatkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, adat mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, penduduk , bangsa dan Negara.

b. Pendidikan Nasional berdasarkan UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (2) adalah:

pendidikan yang menurut Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap kepada permintaan perubahan zaman.

c. Pendidikan Islam

1). Pendidikan Islam ialah aktivitas yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk mengembangkan peluanganak bimbing berdasarkan pada kaidah-kaidah agama Islam. Pendidikan Islam adalah panduan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani berdasar fatwa Islam dengan pesan yang tersirat mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan memantau berlakunya semua pedoman Islam.  Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan insan terhadap kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kehidupannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kesanggupan ajar (efek dari luar) yang dimiliki dan diterimanya.

Pendidikan Islam yakni pendidikan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi insan secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, nalar pikiran, kecerdasan, perasaan serta panca indera yang dimilikinya.[4]

Menurut Ahli yang lain
  • Zakiah Daradjat

Pendidikan Islam yaitu pembentukan kepribadian muslim. Atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan isyarat pemikiran Islam.[5]
  • Muhammad Quthb

Pendidikan Islam yakni usaha melaksanakan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud insan, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam acara di bumi ini.[6]

Laporan Hasil Wordl Conference on Muslim Education yang pertama di Mekkah tanggal 31 Maret sampai 8 April 1977, disebutkan:

“Education should aim at balanced growth of the total personality of man through the pembinaan of mans spirit, intellect, the rational self, feelings, and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, linguistic both individually and collectively and motivate all these aspects towards goodness and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.[7]

(Pendidikan sebaiknya bertujuan menimbulkan perkembangan kepribadian total manusia secara seimbang, melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan, dan kepekaan tubuh insan. Oleh alasannya adalah itu, pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi kemajuan manusia dalam aspeknya: spiritual, intelektual, khayalan, fisik, ilmiah, linguistic baik secara perorangan maupun secara kolektif, dan memotivasi semua aspek tersebut untuk meraih kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Muslim terletak pada realitas kepasrahan mutlak kepada Allah pada tingkat perorangan, penduduk , dan kemanusian pada umumnya).

Dari definisi-definisi di atas, baik yang dikemukakan UU Sisdiknas 2003 maupun para tokoh pendidikan, dapat disimpulkan bahwa tujuan tamat pendidikan Islam adalah pembentukkan tingkah laris islami (budbahasa mulia) dan kepasrahan (keimanan) terhadap Allah berdasarkan pada petunjuk ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis).


2. Posisi Pendidikan Agama dalam UU Sisdiknas 2003

a. Pasal 1 ayat (1), pendidikan yakni:

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran biar akseptor didik secara aktif membuatkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, budpekerti mulia, serta keterampilan yang diharapkan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

b. Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional yakni:

Pendidikan yang menurut Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap kepada tuntutan pergeseran zaman.

Dalam hal ini agama selaku tujuan pendidikan (semoga akseptor didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses pendidikan nasional.

c. Pasal 4 ayat (1)

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukkan bangsa.

d. Pasal 12 ayat (1) Setiap penerima asuh pada setiap satuan pendidikan berhak:

a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Peserta asuh berhak menerima pendidikan agama sesuai dengan agamanya masing-masing dan diajarkan oleh guru/pendidik yang seagama. Tiap sekolah wajib menawarkan ruang bagi siswa yang memiliki agama yang berlainan-beda dan tidak ada perlakuan yang diskriminatif.

e. Pasal 15

Jenis pendidikan mencakup pendidikan lazim, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

f. Pasal 17 ayat (2)

Pendidikan dasar terbentuk sekolah dasar (Sekolah Dasar) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

g. Pasal 18 ayat (3)

Pendidikan menengah berupa sekolah menengah atas (Sekolah Menengan Atas), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

h. Pasal 28 ayat (3)

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (Taman Kanak-kanak), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

Salah satu jenis pendidikan nasional yakni pendidikan agama. Setingkat taman kanak-kanak (Taman Kanak-kanak) dinamakan raudatul athfal (RA), sekolah dasar (SD) dinamakan madrasah ibtidaiyah (MI), sekolah menengah pertama (SMP) dinamakan madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah atas (Sekolah Menengan Atas) dinamakan madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK) dinamakan madrasah aliyah kejuruan (MAK).[8]

i. Pasal 30 perihal pendidikan keagamaan
  • Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kalangan masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
  • Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan akseptor ajar menjadi anggota penduduk yang mengerti dan mengamalkan nilai-nilai aliran agamanya dan/atau menjadi andal ilmu agama.
  • Pendidikan keagamaan mampu diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
  • Pendidikan keagamaan berupa pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

Dalam hal ini pendidikan agama merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Di samping sekolah/madrasah formal yang diresmikan oleh pemerintah seperti MIN, MTsN, maupun MAN, penduduk mampu juga mengadakan pendidikan agama, baik formal (pesantren, madrasah), nonformal (taman pendidikan Al-Qur’an (TPA), majlis taklim) maupun informal (madrasah diniyah).

j. Pasal 36 ayat (3)

Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengamati:

a. Peningkatan dogma dan takwa;
b. Peningkatan akhlak mulia; dan seterusnya…

k. Pasal 37

l. (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

a. pendidikan agama
b. pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya…


(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:

a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.

kurikulum pada setiap jenjang pendidikan baik mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, wajib hukumnya menampung pendidikan agama (menurut agama yang dianut oleh penerima ajar).

m. Pasal 55 ayat (1) tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat

Masyarakat berhak mengadakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan penduduk .

Dalam hal ini, masyarakat boleh mendirikan forum pendidikan berbasis penduduk sesuai dengan kekhasan agama masing-masing, seperti madrasah diniyah muhammadiyah (MDM), al-Ma’akil, dan lain-lain.


3. Realitas Pendidikan Agama (Islam) di Indonesia.

Kalau kita cermati dari tiap Pasal UU Sisdiknas 2003 di atas, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan agama memiliki posisi yang sungguh penting dalam pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menfokuskan diri dalam membentuk penerima bimbing secara aktif menyebarkan kesempatandirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Akan namun keadaan di atas, bukanlah menjadi jaminan bahwa realitas pendidikan Islam di Indonesia berlangsung dengan baik. Bahkan, pendidikan agama dipandang sebelah mata oleh penduduk . Hal ini terlihat saat minat masyarakat untuk menyekolahkan putra/putri mereka ke lembaga-forum pendidikan agama semisal madrasah maupun pesantren. Lembaga pendidikan agama menjadi prioritas kedua sehabis sekolah [9]. Salah satu alasannya mutu lembaga pendidikan agama lebih rendah di bandingkan sekolah.

Adapun faktor-faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan Islam, sebagai berikut:

a. Internal : Kualitas SDM yang rendah

SDM di sini lebih terfokus pada mutu guru (ustaz/ah) yang rendah. Contohnya, banyak guru yang tidak ber-background dari lulusan sarjana pendidikan agama Islam (S1/sertifikat 4 mengajar), guru yang mengajar bukan pada spesialisasinya, misalnya, sarjana hukum Islam mengajar bahasa Arab, dan lain sebagainya.

b. Eksternal : Globalisasi, Demokratisasi, dan Liberalisasi Islam.

Pendidikan Islam memiliki tantangan berat untuk menghadapi abad globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi Islam. Lembaga pendidikan agama mesti merencanakan diri untuk menghadapi tantangan di atas. Misalnya dengan memperbaiki kualitas SDM dan SDA. SDM menyangkut mutu guru maupun input peserta latih, sedangkan SDA menyangkut infrastruktur atau fasilitas prasarana, media pendidikan maupun kurikulum yang up to date. [10]


C. Analisis dan Kesimpulan

meskipun secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama[11] dan bukan pula Negara sekuler[12], tetapi Negara Pancasila.[13] Dengan status Negara yang demikian, maka masuk akal bila kemudian Pemerintah Indonesia tetap menatap bahwa agama menduduki posisi penting di negeri ini selaku sumber nilai yang berlaku.[14]

Hal ini dapat kita lihat bagaimana posisi agama (pendidikan agama) dalam UU Sisdiknas 2003. dari pelbagai Pasal di atas menandakan bahwa pendidikan agama selaku sumber nilai dan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan agama memiliki tugas penting dalam mengembangkan potensi penerima ajar untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, adat mulia dan kepribadian muslim (khusus agama Islam).

Abdur Rahman Assegaf, dkk mengutip pertimbangan M. Arifin, bahwa pendidikan agama sesudah diwajibkan di sekolah-sekolah, meskipun masih perlu disempurnakan terus, memberikan bahwa pengaruhnya dalam pergeseran tingkah laku akil balig cukup akal adalah relatif lebih baik dibanding dengan keadaan sebelum pendidikan agama tersebut diwajibkan. Sekurang-kurangnya imbas pendidikan agama tersebut secara minimal mampu menanamkan benih keimanan yang mampu menjadi daya preventif terhadap tindakan negatif cukup umur atau bahkan mendorong mereka untuk berperilaku laku watak dan sesuai dengan norma agamanya.[15]

Meskipun pendidikan agama memiliki peranan penting dalam membentuk akseptor ajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berperilaku/budpekerti mulia, akan namun dalam realitas, forum pendidikan agama masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, perbaikan dan peningkatan kualitas sungguh urgen di lakukan oleh lembaga pendidikan agama untuk ketika ini.

Daftar Pustaka dan Footnote
  • Assegaf, Abdur Rahman, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press, 2007
  • Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milennium Baru, (Jakarta: Logo Wacana Ilmu, 1999)
  • Arifin, M Kapita selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
  • Bahtiar Effendi, Masyarakat, Agama, dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2002
  • Baidlowi, Miftah, Kontribusi Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat Terhadap Pengamalan Nilai Agama Islam Siswa SMU Negeri di Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Tesis, 2000
  • Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000)
  • Idi, Abdullah Idi dan Suharto, Toto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
  • Iman, Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004)
  • Jabali, Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi Islam di Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)
  • Kaelan, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 1996
  • Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988) cetakan II
  • Muhammad Ali, Indonesia Negara Sekuler?, Jakarta: Kompas, 2 Agustus 2002.
  • Syam, Yunus Hasyim, Mendidik Anak ala Muhammad, (Yogyakarta: Penerbit Sketsa, 2005)
  • Sanaky, Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press)
  • Supriyoko, Ki, Kuliah Politik Pendidikan Nasional Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sessi ke-12
  • UU Sisdiknas 2003
  • Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, (Bandung: Al-Ma’pandai, 1984), cetakan 1
_______________
[1] Yunus Hasyim Syam. 2005. Mendidik Anak ala Muhammad. Yogyakarta: Penerbit Sketsa., hal. x
[2] Muis Sad Iman. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta: Safiria Insania Press., hal. 2

[3] Kutipan Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press), hal.9 atau dalam bukunya Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milennium Baru, (Jakarta: Logo Wacana Ilmu, 1999), hal 59.

[4] Ki Supriyoko, Kuliah Politik Pendidikan Nasional Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sessi ke-12

[5] Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 28

[6] Kutipan Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 47-48 atau bukunya Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, (Bandung: Al-Ma’cendekia, 1984), cetakan 1, hal. 27.

[7] Dikutip dari Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), cetakan II, hal. 308 atau Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, op.cit, hal. 49.

[8] Masuk dalam madrasah ini (madrasah aliyah kejuruan) yakni madrasah aliyah keagamaan (MAK)/atau madrasah kejuruan pada ilmu-ilmu agama. MAKN merupakan perubahan dari madrasah aliyah program khusus (MAPK) semenjak tahun 1997. Contohnya MAKN Surakarta (karena penulis tergolong akseptor bimbing didalamnya).

[9] Sekolah di sini artinya lembaga pendidikan di bawah DIKNAS semisal SD, Sekolah Menengah Pertama, dan SMA/SMK.

[10] Kurikulum up to date artinya dalam penyusunan kurikulum seharusnya juga menampung materi kemajuan ilmu pengetahuan yang positif dalam rangka mengadapi abad isu.

[11] Negara agama atau Negara theokrasi pada hakikatnya yakni sebuah Negara yang berdasarkan pada sebuah anutan agama tertentu. Negara secara keseluruhan dibuat menurut suatu fatwa agama tertentu, baik menyangkut bentuk Negara, kekuasaan Negara, tujuan Negara, demokrasi, dan sebagainya. Lihat Kaelan, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 1996., hal. 102.

[12] Menurut Donald Eugene Smith, the secular state is state that guarantees individual and corporate freedom of religion, deals with the individual as a citizen irrespective of his religion, is not constitutionally connected to a particular religion, nor seeks either to promote or interfere with religion. Lihat: Muhammad Ali, Indonesia Negara Sekuler?, Jakarta: Kompas, 2 Agustus 2002.

[13] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hal.143. Menurut Bahtiar Effendi –sebagaimana dikutip oleh Abdur Rahman Assegaf, dkk- sebagai Negara Pancasila, dapat dibilang bahwa Indonesi mengambil jalan tengah (middle path) antara Negara agama dan Negara sekuler. Rumusan sila perta Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memperlihatkan sifat yang khas pada Negara Indonesia, bukan Negara sekuler yang memisahkan agama dan Negara, dan bukan Negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara kecerdikan pekerti luhur menurut nilai-nilai Pancasila. Lihat Bahtiar Effendi, Masyarakat, Agama, dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2002., hal. 19

[14] Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi Islam di Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)., hal. 62. atau Abdur Rahman Assegaf, dkk Pendidikan Islam di Indonesia. Op.cit., hal. 145.

[15] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia, op.cit., hal. 146 atau baca M. Arifin, Kapita selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 217. Kemudian hasil penelitian yang dikerjakan oleh Miftah Baidlowi di sekolah-sekolah di Kabupaten Sleman antara lain memperlihatkan bahwa pendidikan agama di sekolah meberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pengamalan nilai-nilai keagamaan siswa. (Miftah Baidlowi, Kontribusi Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat Terhadap Pengamalan Nilai Agama Islam Siswa SMU Negeri di Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Tesis, 2000), hal. 79

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon