Jumat, 27 November 2020

Ijtihad

A. PENGERTIAN IJTIHAD Kata Asal kata Artinya Ijtihad Dari isim mashdar al-juhd at-taqah (tenaga, daya upaya, kuasa) Jihaad dan mujaahadah Dari bentuk masdar Jaahada Pengerahan kemampuan Ijtihad al-ijtihad dan at-tajahud Pengerahan segala kemampuan dan tenaga Konsep ijtihad yang dirumuskan oleh Imam Al-Ghazali yakni pencurahan segala daya upaya dan kesanggupan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau susah. Muhammad Iqbal, menerangkan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, betul-betul akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah sungguh-sungguh beserta orang-orang yang berbuat baik. Kata jihaad dan mujaahadah memang memiliki makna yang  sama alasannya adalah keduanya satu akar kata, ialah bentuk mashdar dari kata jaahada. Keduanya memiliki arti pengerahan kemampuan. Dalam pemahaman secara khusus, mujahadah secara fisik disebut jihad sementara mujahadah dengan akal disebut ijtihad. Adapun pengertian ijtihad berdasarkan para ulama ada aneka macam macam. Di antaranya yaitu selaku berikut: 1. Menurut Imam Asy-Syaukani: Mengerahkan kemampuan memperoleh hokum syari’at yang bersifat simpel (amali) dengan cara istinbath. 2. Menurut As-Subki: Pengerahan segala kesanggupan spesialis fiqih untuk menciptakan dugaan yang berpengaruh perihal aturan syari’at. 3. Menurut Saifuddin Al-Amidi: Mencurahkan kesanggupan dalam mendapatkan hukum-aturan syara’ yang bersifat zhanni, sehingga beliau tidak mampu lagi mengusahakan yang lebih dari itu. Dalam definisi yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani di atas digunakan kata badzlul wus’i untuk menerangkan bahwa ijtihad ialah perjuangan besar yang memerlukan pengerahan kesanggupan.  Artinya  jika perjuangan tersebut tidak dilakukan dengan kesungguhan dan tidak sepenuh hati, maka itu bukan ijtihad. Sedangkan penggunaan kata syar’i mengindikasikan bahwa yang dihasilkan dalam perjuangan ijtihad ialah hukum syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laris insan. Penggunaan term ini untuk membedakan pengertian ijtihad selaku perjuangan menemukan sesuatu yang bersifat aqli, lughawi, dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk klasifikasi tiga hal tersebut tidak dinamakan ijtihad. Dalam defini Asy-Syaukani di atas juga disebutkan cara mendapatkan hukum syara’ dengan sistem istinbath yang memiliki arti mengeluarkan sesuatu dari kandungan lafal. Artinya, ijtihad yaitu perjuangan mengetahui lafal dan mengeluarkan hukum dari lafal tersebut. Kata istinbath maksudnya yakni mengeluarkan aturan fikih dari Al-Qur’an dan As- Sunnah melalui kerangka teori yang digunakan oleh ulama ushul sehingga term istinbath identik dengan ijtihad. Menurut Asy-Syaukani Ijtihad yakni usaha besar yang membutuhkan pengerahan kesanggupan. Metode yang dipakai yakni Istinbath. Hasil perjuangan ijtihad ialah ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia. Ali Hasballah melihat bahwa ada dua cara ulama ushul dalam melakukan istinbath, ialah: 1. Pendekatan melalui kaidah kebahasaan 2. Pendekatan lewat pengenalan makna atau maksud syari’at (maqashidusy syari’ah). Sementara itu dalam definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Subki terdapat penambahan kata al-faqih sebelum kata al-badzlu  dan  kata dhan sebelum kata hukmin syar’iyyin. Penambahan kata fakih berarti bahwa orang yang melaksanakan ijtihad bukanlah sembarang orang, melainkan mesti orang yang pengertian agamanya luas dan mendalam. Ada derajat dan kualifikasi tertentu bagi orang untuk disebut selaku fakih. Sedangkan kata dhan mengandung arti bahwa yang  dicapai  oleh mujtahid itu hanyalah bersifat dhan (dugaan) semata. Yang mengenali kebenarannya yang hakiki hanyalah Allah. Jika ada firman Allah atau hadits Nabi yang menjelaskan status hukumnya, maka tidak lagi dibutuhkan ijtihad. Hal ini menurut kaidah: Artinya: Tidak ada ijtihad kalau telah terdapat nashnya Dari ketiga definisi di atas tampakbahwa kata ijtihad dalam aturan Islam yakni pengerahan kesanggupan intelektual secara maksimal untuk mendapatkan satus hukum amali (praktis) sebuah persoalan pada tingkat dhanni (prasangka). Kata Amali memiliki pengertian bahwa ijtihad cuma sebatas pada hal-hal yang bersifat operasional sementara pada faktor yang bersifat teoritis tidak termasuk dalam klasifikasi ini. Sedangkan kata dhanni tujuannya adalah dilema yang diijtihadi itu masih memungkinkan untuk dikerjakan interpretasi, bukan sesuatu yang bersifat qath’i (niscaya) Sehingga hasil yang diperoleh seorang mujtahid dalam ijtihadnya bersifat relatif, tidak mutlak kebenarannya. Sebagai konsekwensinya, hasil ijtihad dari satu mujtahid itu bisa berbeda-beda. Bahkan Imam Syafi’i mempunyai dua usulan yang populer yang disebut sebagai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jaded (pertimbangan baru). Qaul qadim ialah pendapat (madzhab) yang beliau berdiri saat masih di Iraq sedangkan qaul Jadid ialah madzhab yang beliau berdiri saat ia berada di Mesir. Adanya qaul qadim dan qaul jaded ini bukan karena ia tidak konsisten dalam keilmuannya, tetapi lebih memberikan elastisitas fikih dan menggambarkan perjalanan intelektual dia sekaligus rasa rendah hati ia. Elastisitas fikih alasannya adalah dengan dua qaul tersebut terbukti bahwa produk fikih itu tidak bersifat statis namun bersifat dinamis. Perjalanan hidup ia tidak pernah berhenti untuk mencari ilmu. Kerendahan hati dia ditunjukkan dengan tidak merasa gengsi untuk mengganti pendapatnya kalau ditemukan ada dalil lain yang lebih kuat. Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, ijtihad merupakan konsep yang sungguh penting dalam aliran agama Islam. Ijtihad selaku fasilitas berdialektika dengan realitas kehidupan dalam menjawab masalah- persoalan kehidupan yang timbul. Sebagai pedoman Islam yang berfungsi menenteng rahmat bagi semesta dan senantiasa mampu beradaptasi dengan dimensi ruang dan waktu (Shalihatun likulli makan wa zaman). Ijtihad dikerjakan hanya pada yang bersifat operasional. Yang di ijtihadi bukan sesuatu yang niscaya (qath’i) sehingga kebenarannya tidak mutlak dan ada kemungkinan untuk berganti. B. DASAR HUKUM IJTIHAD 1. Dasar Al-Qur’an Dasar hukum ijtihad yakni Al-Qur’an, hadits, dan ijmak. Adapun dasar hukum ijtihad yang berasal dari Al-Qur’an yaitu firman Allah: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kau. (QS An-Nisa: 59) Dalam ayat di atas, ada tiga bagian yang mesti ditaati, yaitu Allah, Rasulullah, dan Ulil Amir (pemegang masalah). Taat  kepada Allah berarti taat ialah dengan melakukan isi dari Al-Qur’an.  Taat terhadap Rasulullah adalah dengan melakukan sunnah-sunnah dia. Sedangkat taan terhadap ulil amri ialah mengikuti hasil dari ijtihad para ulama yang memang mempunyai otoritas untuk berijtihad. Dalam ayat lain Allah berfirman: Artinya: Kami tiada menyuruh Rasul Rasul sebelum kau (Muhammad), melainkan beberapa orang-pria yang Kami beri wahyu terhadap mereka, Maka Tanyakanlah olehmu terhadap orang-orang yang cendekia, bila kamu tiada mengetahui. 2. Hadits Dasar aturan ijtihad yang kedua yaitu hadits, adalah percakapan Rasulullah pada dikala ia mewakilkan Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Petikan dari percakapan ia ialah sebagai berikut: Artinya: Bagaimana kamu memutuskan jikalau ada suatu problem? Muadz menjawab, «Aku akan memutuskannya menurut kitab Allah. Jika saya tidak menerimanya maka saya akan memutuskannya menurut sunah Rasulullah dan kalau saya tidak mendapatkannya maka saya akan berijtihad dengan pengetahuanku dan saya tidak akan lalai dalam berijtihad. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda, «Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik terhadap utusan Rasulullah. Para Mujtahid yaitu orang-orang yang mempunyai wawasan. Dan kepadanyalah seharusnya kita bertanya dalam persoalan- masalah agama yang belum kita ketahui. Dari informasi di atas jelaslah bahwa ijtihad itu diakui secara sah oleh baginda Rasulullah saw. Namun mesti diingat bahwa ijtihad itu haruslah dikerjakan oleh seseorang yang mengenali Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu problem-problem yang diijtihadi ialah dilema yang tidak terdapat dalil qath’inya. Sedangkan dilema yang sudah ada dalil qath’inya tidak dilarang diijtihadi lagi. Selain itu terdapat hadits dari Nabi: Artinya: Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia  benar, maka beliau mendapatkan dua pahala dan jikalau ia salah, maka ia menerima satu pahala. 3. Ijmak Kita mengakui bahwa Al-Qur’an yakni sumber hukum yang lengkap. Akan namun, aturan-hukum yang ada dalam Al-Qur’an bersifat global, belum jelas. Selain itu, ada banyak dilema yang diperselisihkan oleh para ulama dan masalah baru yang pada kala Rasulullah belum ada terjadi. Oleh karena itu, umat Islam sepakat menerima ijtihad selaku salah satu sumber hukum. C. BATASAN DAN RUANG LINGKUP IJTIHAD Batasan dan ruang lingkup ijtihad yakni dalam masalah-masalah fiqih yang belum ada nashnya secara qath’i (niscaya). Kaprikornus, bila sesuatu itu telah bernash qath’i tidak boleh ada ijtihad. Misalnya, mendirikan shalat yaitu wajib berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Karena itu, dihentikan seseorang berijtihad untuk mengganti aturan tersebut. D. SUMBER HUKUM ISLAM Sumber hukum Islam dibagi menjadi dua, adalah sumber aturan yang disepakati oleh para ulama dan yang tidak disepakati oleh para ulama. Sumber aturan yang disepakati oleh para ulama adalah, Al- Qur’an, hadits, ijmak, dan qiyas. Sebagaimana firman Allah. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian bila kamu berlawanan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah beliau terhadap Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu betul-betul beriman terhadap Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akhirnya. (QS An-Nisa: 59) 1. Al-Qur’an Al-Qur’an yaitu firman Allah yang diturunkan oleh Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah dengan lafal bahasa Arab dan isinya ialah haq, biar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa beliau ialah benar utusan Allah, juga menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti hidayah ia, dan membacanya tergolong mendekatkan diri kepada Allah dan beribadah kepadanya. 2. Sunnah Menurut perumpamaan sunnah yaitu segala yang berasal dari Nabi, baik itu berupa perkataan, tindakan, maupun ketetapan ia. 3. Ijma (Konsensus) Ijmak menurut perumpamaan ushul fiqih yaitu komitmen seluruh mujtahid dari umat Islam dalam satu abad sehabis wafatnya Rasulullah atas sebuah hukum syara’ dalam satu peristiwa. 4. Qiyas (Analogi) Qiyas adalah menyamakan sesuatu insiden yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang insiden ada nash hukumnya untuk menyamakan hukumnya berdasarkan illat hukumnya. Adapun sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama ialah istihsan, al-mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, madzhab shahabi dan syaddu dzari’ah. Artinya yakni selaku berikut: 1. Istihsan (menilai baik) Menurut istilah arti istihsan adalah beralihnya seorang mujtahid dari qiyas jalli (qiyas yang jelas) terhadap qiyas khafi (qiyas yang masih samar). Contoh: Madzhab Hanafi membolehkan orang yang haid membaca Al-Qur’an padahal menurut qiyas jalli dilarang alasannya orang yang haid itu berhadats besar sebagaimana orang yang junub yang tidak boleh membaca Al-Qur’an. Imam Syafii menolak istihsan dijadikan sebagai sumber hukum. 2. Al-Mashlahah Al-Mursalah Al-Mashlahatul Mursalah yakni kemashlahatan yang belum ditetapkan oleh Syari’ (maksudnya Allah dan Rasulullah) sebagai suatu hukum untuk dikerjakan dan tidak ada dalil syar’i untuk menggunakannya atau menghapuskannya. Contoh: membuat mata uang selaku alat pembayaran. 3. ‘Urf (Adat Kebiasaan) Urf yaitu sesuatu yang dikenal dan berlaku dimasyarakat baik itu berbentukperkataan maupun perbuatan ataupun meninggalkan. Contoh: kebiasaan penduduk saling sapa, jagong, dan sebagainya. 4. Istishab Istishab yakni menetapkan aturan terhadap sesuatu sesuai dengan kondisi hukum sebelumnya sampai adanya dalil yang menawarkan perubahan status hukumnya atau menyebabkan aturan yang sudah ada sebelumnya tidak berubah hingga adanya dalil yang mengubahnya. Contoh: segala bentuk muamalat dibolehkan jikalau tidak ada nash yang melarangnya. 5. Syar’u man Qablana (Syari’at umat sebelum kita) Syariat umat-umat Nabi terdahulu yang dikisahkan dalam Al- Qur’an jika ada nash untuk mengikutinya, maka kita ditugaskan untuk mengikutinya, misalnya syari’at qurban. Sedangkan syari’at mereka yang terdapat nash untuk tidak mengikutinya, maka kita dihentikan mengikutinya, contohnya syari’at Nabi Adam menjodohkan anak laki-lakinya dengan anak perempuannya sudah dihapus oleh aturan larangan menikahi saudara kandung. Syariat  mereka  yang  tidak  ada informasi dalil perintah atau larangan mengikutinya masih diperselisihkan oleh para ulama. 6. Madzhab Shahabi Madzhab shahabi adalah pandapat para sobat dalam suatu persoalan hukum sementara pertimbangan tersebut bukan berasal dari Rasulullah. 7. Syaddu dzari’ah Yang dimaksud dengan dzari’ah adalah sesuatu yang secara zahirnya adalahbolehnamunbisa menjadi sebab melaksanakan perbuatanterlarang. Sedangkan kata syadz ialah menutup. Makara syaddudz dzari’ah ialah menutup jalan sesuatu yang mampu menimbulkan tindakan haram. Contoh syaddudz dzari’ah: bermain kartu pada dasarnya tidak ada tidak boleh oleh nash, tetapi karena bermain kartu bisa membuat seseorang lalai mengingat Allah atau malah digunakan untuk berjudi, maka bermain kartu tidak dibolehkan. Sumber hukum yang disepakati oleh para ulama ialah, Al- Qur’an, hadits, ijmak, dan qiyas. Adapun sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama adalah istihsan, al-mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, madzhab shahabi dan syaddu dzari’ah. E. CARA BERIJTIHAD DALAM MASALAH YANG TIDAK DISEBUTKAN NASH HUKUMNYA Ada kalanya suatu masalah tidak disebutkan nash hukumnya dalam Al-Qur’an maupun hadits. Dalam masalah-masalah demikian, maka para ulama bisa berijtihad secara kolektif atau yang disebut ijmak (janji ulama) mirip pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah. Selain ijtihad kolektif bisa juga dilaksanakan ijtihad individu sebagaimana yang dilakukan para ulama mujtahid. Adapun alat yang dipakai dalam ijtihad kolektif yakni unsur-unsur hasil akad bareng . F. LATIHAN SOAL Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar! 1. Apa yang anda pahami ihwal ijtihad? 2. Jelaskan wacana batas-batas ijtihad secara ringkas! 3. Sebutkan dasar-dasar aturan dibolehkannya berijtihad! 4. Jelaskan sumber aturan selain Al-Qur’an dan hadits yang dijadikan teladan oleh mujtahid!
Sumber http://lets-sekolah.blogspot.com


EmoticonEmoticon