A. PENGERTIAN MADZHAB DAN BERMADZHAB Madzhab Secara etimologis Kata madzhab berasal dari sighat (bentuk) mashdar mim (kata sifat) dan isim makan (kata yang menawarkan kawasan) yang diambil dari fi’il madly dzahaba yang bermakna pergi dan bisa juga bermakna ra’yu yang memiliki arti pertimbangan Madzhab secara teriminologis madzhab adalah jalan pikiran (pertimbangan ) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan hukum Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Menurut ibrahim Hosein, madzhab secara etimologis mempunyai paling tidak tiga macam pemahaman, yaitu; 1. pendirian, doktrin, 2. tata cara atau jalan, dan 3. sumber, patokan dan jalan yang kuat, pedoman, atau juga mempunyai arti paham yang dianut. Di samping itu, madzhab juga diketahui selaku school yang dalam bahasa Arab dipahami sebagai madrasah fikriyah atau madzhabul ‘aqli . Makara, madzhab esensinya ialah aliran fatwa atau school of thought. Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui empat madzhab besar. Keempat madzhab besar tersebut adalah selaku berikut; 1. Madzhab Hanafi didirikan oleh Abu Hanifah Nu’ man atau juga lazimdisebut selaku Imam Hanafi (80-150 H) 2. Madzhab Maliki didirikan oleh Malik bin Anas atau yang biasa disebut juga dengan Imam Malik. (93-79 H) 3. Madzhab Syafi’i diresmikan oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i atau disebut juga dengan Imam Syafii. (150-204) 4. Madzhab Hanbali diresmikan oleh Ahmad bin Hanbal atau disebut juga dengan Imam Hanbali. (164-241) 91 Ada beberapa hal yang menyebabkan lahiranya madzhab-madzhab tersebut. Muhammad Syaltout dan Myhammad Ali As-Sayis meng- identifikasi beberapa faktor yang menjadikan timbulnya aneka macam madzhab, antara lain: 1. Perbedaan pengertian ihwal lafal nash, misalnya kata quru’ mampu diartikan dengan suci dan juga bisa diartikan dengan haid. 2. Perbedaan dalam duduk perkara hadits. Kadang kala satu hadits hingga terhadap satu imam dan tidak sampai kepada imam yang lain. Di samping itu ada perbedaan evaluasi ulama terhadap derajat keshahihan suatu hadits untuk dijadikan argumentasi dalam beristidlal. 3. Perbedaan dalam mengerti dan memakai qaidah lughawiyah nash (kaidah bahasa nash). 4. Perbedaan dalam mentakhrij dalil-dalil yang secara zahir bertentangan. 5. Perbedaan dalam qiyas (analogi) 6. Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil aturan. 7. Perbedaan dalam pemahaman illat aturan dan nasakh. Selain keempat madzhab di atas masih ada beberapa madzhab kecil seperti Dhahiri, Thabari, Laits, dan sebagainya. Tetapi pengikuti madzhab-madzhab tersebut sedikit. Di golongan Syi’ah ada dua madzhab besar, yaitu madzhab Imamiyah dan Zaidiyah. 92 Bermadzhab adalah kita menggunakan pandapat salah satu dari keempat madzhab di atas. Pada hakikatnya bermadzhab bukan mempertentangkan antara ijtihad dan taklid. Akan namun, bermadzhab yaitu mengkompromikan antara keduanya. Tidak semua orang memiliki kemampuan ijtihad. Hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki otoritas untuk itu. Bagi orang yang memiliki syarat ijtihad, maka dia dipersilakan untuk ijtihad dan dilarang taklid. Sebaliknya, bagi orang yang belum memiliki syarat ijtihad, maka beliau harus taklid terhadap salah satu dari keempat madzhab di atas dan tidak boleh berijtihad. Madzhab esensinya yakni fatwa anutan atau school of thought. Bermadzhab yakni kita menggunakan pandapat salah satu dari empat madzhab. Bagi orang yang belum memiliki syarat ijtihad, maka dia mesti taklid kepada salah satu dari empat madzhab. B. ALASAN DAN DASAR BERMADZHAB Tidak semua umat Islam mampu memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan baik. Mayoritas masyarakatIndonesia beragama Islam. Jika penduduk Indonesia berjumlah dua ratus juta lebih, pasti umat Islam lebih dari seratus juta. Atau mungkin mampu mencapai seratus empat puluh juta. Namun, dari sekian banyaknya umat Islam tersebut, tidak seluruhnya bisa membaca Al-Qur’an. Masih banyak penduduk kita yang buta huruf Al-Qur’an. 93 Di antara masyarakat yang bisa membaca Al-Qur’an pun sebagian besar tidak mengetahui artinya alasannya memang tidak menguasai bahasa Arab. Akhirnya hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa membaca Al-Qur’an dan mengetahui artinya. Tentu prosentase ini akan mengecil lagi jikalau dikaitkan dengan penguasaannya terhadap tafsir, asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, ilmu qiraat, dan lain sebagainya. Belum lagi bila diteliti penduduk yang faham terhadap hadits meliputi mengenali hadits beserta artinya, nasikh dan manskhnya, sababul wurudnya, derajat keshahihannya, sanadnya, sifat-sifat perawinya, dan sebagainya. Tentu jumlahnya akan kian mengerucut dan sedikit. Kondisi yang demikian mampu kita hadapkan dengan hadits Mu’adz bin Jabbal saat diutus ke Yaman. Saat ditanya oleh Rasul bagaimana ia akan memutuskan suatu masalah, maka Muadz menjawab bahwa dirinya akan memutuskannya menurut Al-Qur’an, kalau tidak terdapat dalam Al-Qur’an, maka dengan hadits, dan jikalau tidak didapatkan dalam hadits maka ia akan berijtihad. Mu’adz mampu melaksanakan hal itu karena dia faham Al-Qur’an dan hadits. Lalu bagaimana dengan kita? Bermadzhab adalah salah satu upaya untuk sampai terhadap pemahaman agama ini semoga lebih benar. Sebab ulama yang kita ikuti bukanhanyaulamasembarangan.MerekatelahhafalAl-Qur’ansemenjak kecil, hafal ratusan ribu hadits dan mengetahui derajat keshahihan hadits tersebut. Penguasaan mereka kepada alat berijtihad juga lengkap. Sehingga hasil ijtihad mereka mampu dipertanggungjawabkan. Jika benar ijtihad mereka, maka mereka mendapat dua pahala dan jika salah ijtihad mereka, maka mereka mendapatkan satu pahala. Adapun yang menjadi dasar dari bermadzhab ini yakni firman Allah dalam Al-Qur’an. 94 Artinya: Maka bertanyalah terhadap orang yang memiliki pengetahuan kalau kau tidak mengetahui, (QS An-Nahl: 43) Dalam sebuah hadits disebutkan: Artinya: Sesungguhnya para ulama yakni andal waris para Nabi dan bekerjsama para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula mewariskan dirham. Sesungguhnya mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia sudah mengambil bab yang banyak. Dalam hadits lain disebutkan Nabi bersabda: Artinya: Ikutilah para ulama alasannya sebenarnya mereka yakni lampu di dunia dan obor di akhriat. Dengan dasar dari Al-Qur’an dan hadits Nabi di atas, jelaslah bahwa mengikuti para ulama, apalagi para mujtahid adalah juga mengamalkan Al-Qur’an. Ijtihad para ulama mujtahid itu pastilah menurut Qur’an dan hadits, bukan semata-mata mengikuti hawa nafsu mereka. Pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan hadits pun jauh lebih baik daripada kita. C. CARA BERADZHAB 95 Ada dua cara bermadzhab, adalah bermadzhab secara qauli dan bermadzhab secara manhaji. Ber adzhab qauli yakni seseorang mengikuti pendapat para ulama mujtahid. Qaul sendiri artinya perkataan atau pendapat. Bermadzhab secara manhaji yaitu mengikuti metode atau kerangka berfikir mujtahid meskipun sering kali karenanya berbeda dengan usulan mujtahid. Kata manhaj sendiri artinya tata cara. Pendapat atau persepsi keagamaan ulama yang tercatat selaku ulama sunni dikutip secara utuh qaulnya dari kitab mu’tabar dalam madzhab. Kitab Al-I’tishad fil I’tiqad karangan Abu Hamid Al-Ghazali yang menjabarkan paham keyakinan Asy’ariyah atau kitab Al-Umm yang menghimpun qaul Imam Syafii. Apabila umat memerlukan ekspansi perluasan kepercayaan (elaborasi) seyogyanya merujuk kepada kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni yang bermadzhab sama mirip kitab Al-Majmu’ karya Imam Nawawi yang mengulang pandangan fikih Imam Asy-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzab . Demi menjaga keutuhan madzhab sunni, maka mesti dikesampingkan pengutipan dari kitab yang berbeda madzhab. Dalam bermadzhab manhaji, seseorang tidak cukup dengan mengenali kesimpulan usulan mujtahid, tetapi ia juga mesti tahu rujukan, dan cara berfikir mujtahid. Ketika upaya menyikapi problem kasuistik dipandang perlu menyatakan dalil nash syar’i berupa kutipan ayat Al-Qur’an, nukilan matan sunah atau hadits, untuk merealisasikan citra muhafadhah maka tertib langkah kerjanya yakni sebagai berikut: 1. Kutipan ayat dari mushaf dengan rasam Utsmani lengkap isyarat nama surat dan nomor ayat. Jika perlu dicantumkan juga tafsir dari mufassir kelompok sunni. 2. 96 Penukilan matan sunnah/hadits mesti berasal dari kitab ushulul hadits (kitab hadits standar) berikut mencantumkan nara sumber Nabi atau Rasulullah serta nama periwayat atau nama mukharrij nya. Pemberdayaan nash sunnah atau nash hadits sebagai hujah syariyah harus memikirkan data hasil Ke-NU-an Ahlussunnah Waljama’ah An-Nahdliyyah Kelas 11 MA/Sekolah Menengan Atas/SMK uji kehujahannya sebagai shahih, hasan , dan dlaif. Penarikan rancangan subtansi nash bermuara pada pensyarahan oleh muhadditsin yang paham keagamaannya diakui oleh sunni. 3. Pengutipan ijmak perlu memisahkan klasifikasi ijmak shahabi yang diakui tertinggi mutu kehujahannya dari ijmak mujtahidin. Sumber pengutipan ijmak seharusnya mengacu terhadap kita karya mujtahid muharrir madzhab mirip Imam Nawawi dan lain-lain. D. MANFAAT BERMADZHAB Berijtihad bukanlah sesuatu yang mudah. Di depan sudah dikemukakan berbagai syarat yang mesti dimiliki oleh seorang mujtahid. Hafal Al-Qur’an tigapuluh juz dengan mengetahui ilmu qira’at, asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, tafsir para mufassirin adalah sesuatu yang sulit dicapai oleh orang zaman sekarang. Belum lagi pengetahuannya wacana hadits, mushthalahul hadits, rijalul hadits, asbabul wurud dan sebagainya. Dan masih banyak lagi syarat-syarat ijtihad yang mesti dipenuhi oleh seseorang. Dengan bermadzhab, mempunyai arti seseorang sudah meletakkan keshahihan pendapat kepada imam mujtahid yang kredibelitasnya diakui. Seorang mujtahid bila benar dalam ijtihadnya, maka dia akan menemukan dua pahala dan bila salah dalam ijtihadnya maka akan memperoleh satu pahala. Sebaliknya, seseorang yang bukan mujtahid jikalau berijtihad, maka ijtihadnya tidak diakui. 97 Oleh alasannya itu, bermadzhab yaitu salah satu upaya evakuasi seseorang dalam ibadahnya. Bermadzhab bukan memiliki arti meninggalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits mirip yang didugaoleh sebagian orang. Akan tetapi, bermadzhab sebenarnya juga berpegang kepada Al- Qur’an dan hadits. Hanya saja, pemahamannya itu disandarkan terhadap para mahir tafsir, jago hadits, dan jago fikih yang memang mempunyai otoritas untuk itu. Makara, bukan setiap orang memiliki penafsiran sendiri-sendiri kepada Al-Qur’an. Apalagi jikalau seseorang tidak mengenali bahasa Arab dan hanya mengetahui terjemahnya atau membaca buku-buku agama dari terjemahan. Orang yang mempesona kesimpulan dari terjemah Al-Qur’an dan buku-buku terjemahan lain maka kesimpulannya tersebut sangat lemah dan tidak mampu dijadikan hujah. Meskipun demikian, bukan memiliki arti membaca Al-Qur’an dan buku-buku terjemahan itu dihentikan, tetapi justru dianjurkan, demi memperluas cakrawala. Yang dihentikan yakni beristinbath hokum sendiri darinya dan enggan mengikuti pertimbangan para ulama mujtahidin. Seorang mujtahid apabila benar dalam ijtihadnya, maka beliau akan menemukan dua pahala dan bila salah dalam ijtihadnya maka akan mendapatkan satu pahala. E. PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG BERMADZHAB 98 Para ulama mempunyai persepsi yang berlainan-beda dalam hal bermadzhab. Ibnu Hazm menyatakan bahwa taqlid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengenali dalilnya terlebih dulu) hukumnya haram. Akan tetapi, kalau diteliti lebih jauh, pendapat Ibnu Hazm tersebut ditujukan terhadap orang-orang yang memang memiliki kemampuan untuk berijtihad. Ke-NU-an Ahlussunnah Waljama’ah An-Nahdliyyah Kelas 11 MA/Sekolah Menengan Atas/SMK Asy-Syaukani juga memiliki usulan yang senada dengan usulan Ibnu Hazm. Asy-Syaukani beropini bahwa berijtihad itu wajib bagi orang yang memiliki kualifikasi mujtahid dan beliau melarang orang untuk taklid berdasarkan firman Allah: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kau. lalu jika kau berbeda Pendapat perihal sesuatu, Maka kembalikanlah ia terhadap Allah (Al Alquran) dan Rasul (sunnahnya), kalau kamu sungguh-sungguh beriman terhadap Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akhirnya. Menurut Asy-Syaukani Allah tidak memerintahkan untuk kembali terhadap pendapat seseorang dalam problem agama, tetapi diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika seseorang tidak mendapatkan dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka beliau harus berijtihad sebagaimana yang dijalankan oleh Mu’adz bin Jabbal. Pendapat Asy-Syaukani di atas pun juga cuma bisa berlaku bagi orang-orang yang mempunyai kualifikas untuk berijtihad. Alasannya, bagaimana mungkin orang yang tida faham Al-Qur’an dan Sunnah hendak berijtihad? Bukankah untuk mengetahui Al-Qur’an dan As- Sunnah diperlukan peralatan yang tidak sedikit? 99 Sebenarnya mengikuti salah satu madzhab bukanlah sesuatu yang aib. Para ulama salafus shalihin pun bermadzhab. Imam Al- Ghazali bermadzhab Syafii. Begitu pula Ibnu Katsir, Imam Nawawi, 100 Ar-Rafi’i, dan lain sebagainya juga bermadzhab Syafii. Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan masih banyak ulama lain bermadzhab Hanbali. Masih banyak ulama lain yang bermadzhab. Ada yang bermadzhab Hanafi, Malik, Syafii, dan Hanbali. Nah, bila para ulama keilmuannya tidak diragukan saja masih bermadzhab, apalagi kita yang masih jauh dari derajat mujtahid. Orang yang menganut sebuah madzhab tidak boleh meremehkan penganut madzhab yang lain. Sebab kesadaran toleransi sudah ditanamkan oleh para Imam Madzhab terdahulu F. LATIHAN SOAL Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar! 1. Ada empat madzhab yang mu’tabar dalam fiqih. Sebutkanlah! 2. Apa yang dimaksud dengan madzhab dan bermadzhab? 3. Apa argumentasi bermadzhab dan apa dasar hukumnya? 4. Ada dua macam cara bermadzhab, yaitu secara manhaji dan qauli. Jelaskan masing-masing perbedaannya! Sumber http://lets-sekolah.blogspot.com
pop
Rabu, 25 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon