Sabtu, 21 November 2020

Makalah Prilaku Dan Karakteristik Siswa

BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Prilaku dan Karakteristik Siswa

Selama proses belajar-mengajar berlangsung, terjadi interaksi antara pengajar dan siswa. Setiap siswa menerima dan menghadapi peran belajar dan pengajar mesti mendampingi siswa dalam belajar. Keberhasilan proses berguru-mengajar itu untuk sebagian dipengaruhi oleh kondisi permulaan yang dimiliki siswa, baik sebagai individu maupun selaku golongan. Kenyataan ini berakibat bagi pengajar, sejauh mana dia mesti mengikutsertakan kondisi awal atau ciri khas itu selaku salah satu titik tolak bagi perencanaan dan pengelolaan proses belajar mengajar.

Bagi setiap pengajar, mengetahui perilaku dan karakteristik awal siswa diperlukan dalam menyusun tujuan instruksional. Menurut Deterline (1965), teknologi instruksional merupakan aplikasi teknologi sikap untuk menghasilkan sikap khusus secara sistematik dalam rangka mencapai tujuan instruksional.[1] Keadaan awal siswa yang heterogen dengan latar belakang serta kesanggupan yang berbeda-beda akan jadi penghambat bagi proses pencapaian tujuan instruksional kalau sejak awal pengajar tidak mengidentifikasi sikap dan karakteristik siswa yang hendak diajar.

Dari uraian singkat di atas, diperoleh gambaran bahwa perilaku dan karakteristik permulaan siswa penting, alasannya adalah memiliki implikasi kepada penyusunan bahan berguru dan metode instruksional. Oleh sebab itu, dalam pembahasan selanjutnya akan dibicarakan cara mengidentifikasi sikap dan karakteristik permulaan mahasiswa. Hasilnya akan menjadi salah satu dasar dalam menyebarkan sistem instruksional yang cocok untuk mahasiswa tersebut. Dengan melaksanakan kegiatan tersebut, dilema heterogennya siswa dalam kelas dapat tertuntaskan, setidaknya dapat dikurangi.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Prilaku dan Karakteristik Siswa

A. MENGIDENTIFIKASI KEMAMPUAN SISWA
Kemampuan mahasiswa yang ada dalam kelas sering kali sungguh bervariasi. Sebagian mahasiswa sudah banyak tahu, sebagian lagi belum tahu sama sekali wacana bahan yang diajarkan di kelas. Bila pengajar mengikuti kalangan mahasisiwa yang pertama, kelompok yang kedua merasa ketinggalan kereta, yaitu tidak dapat menangkap pelajaran yang diberikan. Sebaliknya, bila pengajar mengikuti kalangan yang kedua, yaitu mulai dari bawah, kelompok pertama akan merasa tidak berguru apa-apa dan bosan.

Untuk menanggulangi hal ini, ada dua pendekatan yang mampu dipilih; pertama, mahasiswa menyesuaikan dengan materi pelajaran dan kedua, sebaliknya, bahan pelajaran diubahsuaikan dengan mahasiswa.[2] Pendekatan pertama, mahasiswa menyesuaikan dengan bahan pelajaran, mampu dilakukan sebagai berikut:

1. Seleksi penerimaan mahasiswa
Pada ketika pendaftaran mahasiswa diwajibkan mempunyai latar belakang pendidikan yang berkaitan dengan program pendidikan yang diambilnya. Setelah menyanggupi syarat registrasi di atas, mahasiswa mengikuti tes masuk dalam wawasan dan keterampilan yang tepat dengan acara pendidikan yang akan diambilnya. Proses seleksi ini sering dijalankan oleh forum-forum pendidikan formal mirip perguruan tinggi dalam menyeleksi kandidat mahasiswa untuk memasuki unversitas dan sekolah-sekolah menengah swasta yang ingin memilih kandidat siswa yang baik.

2. Tes dan pengelompokan mahasiswa
Setelah melakukan seleksi seperti diterangkan dalam butir satu, masih ada kemungkinan pengajar menghadapi dilema heterogennya mahasiswa yang mengambil mata pelajaran tertentu. Karena itu, perlu dikerjakan tes sebelum mengikuti pelajaran untuk menggolongkan mahasiswa yang boleh mengikuti mata pelajaran tersebut.

3. Lulus mata pelajaran prasyarat
Alternatif lain untuk butir dua di atas adalah mewajibkan mahasiswa lulus mata pelajaran yang memiliki prasyarat. Dalam suatu program pendidikan di perguruan tinggi tinggi terdapat sebagian kecil mata kuliah yang mirip itu.

Pendekatan kedua, bahan pelajaran diubahsuaikan dengan mahasiswa. Pendekatan ini hampir tidak memerlukan seleksi penerimaan mahasiswa. Pada dasarnya, siapa saja boleh masuk dan mengikuti pelajaran tersebut. Mahasiswa yang masih belum tahu sama sekali dapat mempelajari bahan pelajaran tersebut dari bawah alasannya adalah bahan pelajaran memang disediakan dari tingkat itu. Mahasiswa yang telah banyak tahu dapat mulai dari tengah atau dari atasnya. Bahan pelajaran itu didesain untuk mampu menampung mahasiswa dalam tingkat kemampuan permulaan mana pun. Selanjutnya, mahasiswa mampu maju menurut kecepatan masing-masing, sebab bahan tersebut didesain untuk hal tersebut.

Kedua pendekatan di atas kalau dilaksanakan secara ekstrim, tidak ada yang cocok untuk menangani problem heterogennya mahasiswa dalam tata cara pendidikan biasa. Karena itu, terdapat pendekatan ketiga yang mengkombinasikan kedua pendekatan di atas. Pendekatan ketiga ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Menyeleksi penerimaan mahasiswa atas dasar latar belakang atau ijazah. Seleksi ini lazimnya lebih bersifat administratif.
  • Melaksanakan tes untuk mengetahui kesanggupan dan karakteristik awal mahasiswa. Tes ini tidak digunakan untuk menyeleksi mahasiswa, namun untuk dijadikan dasar dalam menyusun materi pelajaran.
  • Menyusun materi instruksional yang cocok dengan kesanggupan dan karakteristik awal mahasiswa.
  • Menggunakan sistem instruksional yang memungkinkan mahasiswa maju berdasarkan kecepatan dan kesanggupan masing-masing.
  • Memberikan supervisi terhadap mahasiswa secara individual.[3]
Dari ketiga pendekatan di atas, terdapat tes-tes yang diberikan untuk mengetahui kemampuan permulaan siswa. Perilaku permulaan dan karakteristik siswa menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan tata cara instruksional sehingga tujuan pembelajaran mampu tercapai dengan hasil yang bagus.

B. PERILAKU AWAL
Dalam ilmu psikologi, perilaku ialah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari sikap yang paling nampak hingga yang tidak terlihat , dari yang dinikmati sampai yang tidak dirasakan.[4] Dalam interaksinya, seseorang mampu menyebabkan sikap yang bermacam-macam. Bila dikaitkan dengan mencar ilmu dan pendidikan, perilaku bergeser mengalami sebuah perubahan, contohnya, sikap jelek menjadi baik, dari tidak cekatan menjadi terampil, dari tidak tahu menjadi tahu, dan lain sebagainya.Dalam memilih sebuah sistem instruksional, terdapat tiga macam sumber yang mampu memperlihatkan berita terhadap pendesain instruksional dalam menentukan prilaku awal siswa, yakni:
  • Siswa atau kandidat mahasiswa
  • orang-orang yang mengenali kemampuan mahasiswa atau kandidat mahasiswa dari bersahabat mirip pengajarnya terdahulu atau atasannya
  • pengurus acara pendidikan yang biasa mengajarkan mata pelajaran tersebut.
Teknik yang mampu dipakai untuk mengidentifikasi sikap awal siswa adalah kuesioner, interviu, pengamatan, dan tes. Subjek yang menunjukkan berita diminta untuk mengidentifikasi seberapa jauh tingkat penguasaan mahasiswa atau kandidat mahasiswa dalam setiap sikap khusus melalui skala evaluasi.

Teknik yang mampu menciptakan data yang lebih akurat yakni tes penampilan mahasiswa dan pengamatan kepada pelaksanaan pekerjaan mahasiswa serta tes tertulis untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa. Tetapi jika tes seperti ini tidak dapat atau tidak tepat untuk dilaksanakan alasannya beberapa alasannya adalah, penggunaan skala penilaian cukup mencukupi. Skala evaluasi tersebut diisi oleh orang-orang yang tahu secara bersahabat kepada kesanggupan mahasiswa dan diisi oleh mahasiswa sendiri selaku self-report.

Tidak semua faktor dari kondisi siswa pada awal proses berguru mengajar sama-sama penting; aspek mana yang penting selaku titik tolak dalam interaksi guru-murid selama pelajaran berlangsung tergantung dari tujuan instruksional. Misalnya, dalam rangka pelajaran sejarah, tidak berhubungan ditinjau apakah siswa sudah bisa mengapung dalam air, sebab pelajaran itu tidak bermaksud membekali siswa dengan kemampuan berenang. Yang berkaitan ialah meninjau, hingga berapa jauh siswa memiliki sebuah kerangka historis, sehingga peristiwa yang terjadi pada tahun 1990 akan ditangkap selaku insiden yang belum usang terjadi, dibanding dengan kejadian yang terjadi pada tahun 1950. memeriksa apakah siswa telah mampu mengapungkan badannya dalam air (tingkah laris permulaan), gres menjadi berhubungan dalam pelajaran pendidikan jasmani yang bertujuan supaya siswa mampu berenang dengan gaya katak (tingkah laku akhir).[5] Inilah pentingnya bagi pengajar untuk mengenali sikap permulaan siswa, karena dari perilaku inilah tergantung bagaimana proses berguru mengajar seharusnya dikontrol dan apakah tujuan instruksional khusus yang mula-mula ditetapkan mesti mengalami pergantian. Hal ini lebih-lebih berlaku jika sikap awal itu menyangkut sebuah kesanggupan yang diharapkan untuk mencapai tujuan instruksional.

Ketika pengajar sudah mengetahui sikap permulaan siswa, perlu kiranya mengamati hasil tersebut bagi pengembangan tujuan instruksional. Perlu diperhatikan bahwa tugas selanjutnya bagi pengajar tidak hanya sekedar menyesuaikan perilaku awal siswa dengan desain instruksional saja, namun lebih dari itu, pengajar harus mempunyai cara dalam memodifikasi tingkah laris awal menjadi tingkah laris akhir yang ingin dituju. Seorang psikolog terkenal Fred. S. Keller,[6] merancang sebuah program modifikasi tingkah laku bagi sebuah kursus non gelar dalam psikologi lazim telah mendapatkan hasil yang memuaskan sehingga mekanisme-prosedurnya digunakan untuk kursus-kursus psikologi atau bidang perguruan lain di universitas-universitas beberapa negara. Programnya tersebut menekankan kepada individualisasi dalam kecepatan mencar ilmu, penentuan tujuan pendidikan, evaluasi yang dikerjakan terus menerus untuk menentukan tingkat perkembangan setiap siswa dalam mencapai tujuan instruksional.

C. KARAKTERISTIK AWAL
Di samping mengidentifikasi perilaku awal mahasiswa, pengembang instruksional mesti pula mengidentifikasi karakteristik mahasiswa yang berafiliasi dengan keperluan pengembangan instruksional. Minat mahasiswa pada umumnya, misalnya pada olah raga dan musik, sebab sebagian besar mahasiswa yaitu penggemar musik, dapat dijadikan materi dalam memperlihatkan pola dalam rangka penjelasan bahan pelajaran. Kemampuan mahasiswa yang kurang dalam membaca bahasa Inggris merupakan masukan pula bagi pengembang instruksional untuk memilih materi-materi pelajaran yang tidak berbahasa Inggris atau menerjemahkannya terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia.

Demikian pula jika mahasiswa bahagia dengan humor. Pendesain instruksional seharusnya memikirkan penggunaan lawakan dalam seni manajemen instruksionalnya. Bila mahasiswa sebagian besar tidak memiliki video di rumah, pendesain instruksional tidak mampu menciptakan program video untuk dipelajari mahasiswa di rumah. Informasi di atas perlu dicari oleh pengembang instruksional sehingga ia mampu mengembangkan metode instruksional yang cocok dengan karakteristik siswa/mahasiswa.

Teknik yang mampu dipakai dalam mengidentifikasi karakteristik permulaan mahasiswa sama dengan teknik yang dipakai untuk mengidentifikasi perilaku awal, yaitu kuesioner, interviu, observasi dan tes.[7] Seperti halnya dalam mencari isu sikap awal siswa, informasi yang dikumpulkan pendesain instruksional terbatas pada karakteristik mahasiswa yang ada manfaatnya dalam proses pengembangan instruksional.

Tujuan mengenali karakteristik siswa adalah untuk mengukur, apakah siswa akan mampu meraih tujuan belajarnya atau tidak; hingga di mana minat siswa kepada pelajaran yang hendak dipelajari. Bila siswa mampu, hal-hal apa yang memperkuat; dan jikalau tidak mampu hal-hal apa yang menjadi penghambat. Hal-hal yang perlu dikenali dari siswa bukan cuma dilihat aspek-faktor akademisnya, namun juga dilihat aspek-aspek sosialnya, sebab kedua hal tersebut sungguh menghipnotis proses mencar ilmu siswa/mahasiswa.

Hal-hal yang perlu dikenali tersebut yakni:

1. Faktor-faktor akademis

- Berapa jumlah siswa dalam satu kelas
- Apa latar belakang pendidikan (sekolah yang pernah ditempuh)
- Bagaimana nilai rata-rata yang diraih tiap sekolah/kursus/latihan yang pernah dialami
- Apakah siswa memiliki kebiasaan mencar ilmu sendiri
- Bagaimana kebiasaan berguru siswa
- Apakah siswa sudah mengetahui sedikit wacana latar belakang pokok bahasan yang akan dipelajari
- Apakah tingkat intelegensi siswa tinggi, sedang atau rendah
- Apakah siswa mampu membaca cepat
- Apa saja yang dikuasai oleh siswa (student achievement)
- Bagaimana motivasi belajar siswa
- Apakah yang menjadi impian siswa sehabis mempelajari pokok bahasan tersebut
- Bagaimana aspirasi kebudayaan dan vokasional siswa.

2. Faktor-faktor sosial

- Umur
- Kematangan
- Perhatian (minat)
- Apakah ada siswa acuan dalam satu kelas
- Apakah ada siswa yang cacat fisik
- Bagaimana korelasi antarsiswa
- Bagaimana latar belakang sosial-ekonomis.[8]

3. Kondisi berguru

Menurut Dunn dan Dunn,[9] keadaan belajar dapat mensugesti konsentrasi, pencerapan dan penerimaan berita. Pengaruh kondisi lingkungan kawasan belajar kepada seseorang mampu mengakibatkan reaksi yang berlainan-beda. Kita sering melihat bahwa belum dewasa muda lebih suka berguru sambil menyimak musik dari radio atau tape recorder di sampingnya, dengan volume yang cukup besar. Sementara orang lain lebih suka mencar ilmu dengan ruangan yang tenang.

Dunn dan Dunn membagi keadaan berguru menjadi empat golongan:
  • Lingkungan fisik (physical environment), mirip imbas suaru, cahaya, temperatur, dan pengaturan meja-kursi serta perabotan setempat.
  • Lingkungan emosional (emotional environment), mirip, motivasi individu, ketepatan peran, dan tanggung jawab.
  • Lingkungan sosiologis (sociological environment), seperti kebiasaan berguru/melakukan pekerjaan sendiri atau bareng , balasan terhadap orang/pejabat yang sedang berkuasa, dan sebagainya.
Kondisi fisiologis siswa sendiri (student’s owns physiological make up), mirip ketajaman dan kelemahan indera, kebutuhan gizi, tidak atau terlalu banyak mobilitas, penghargaan terhadap waktu sehari-hari, irama kehidupan, dan bagaimana sikapnya terhadap efesiensi peran-tugasnya.

Untuk mengenali kebiasaan dan kesenangan berguru tiap siswa, seyogyanya pengajar menyusun kuesioner, atau pribadi mencari gosip dari tiap siswa perihal keadaan mana yang lebih disukai. Hal ini akan membantu pengajar dalam menolong cara mencar ilmu siswa.

4. Teknik mencar ilmu
Ada siswa/mahasiswa yang berguru lebih efektif dan ada yang tidak. Ada yang lebih gampang mengetahui dengan pendekatan visual, ada yang mudah menangkap mulut, dan ada yang lebih cocok kalau ada acara praktek, latihan, acara fisik, atau simulasi.

Identifikasi teknik belajar ini berhubungan dengan usaha meningkatkan perhatian siswa, dan ini disebut cognitive style mapping. Teknik menawarkan suatu kerangka dalam menggambar dan mencari alasannya adalah-sebab, mengapa individu-individu mempunyai teknik belajar yang berlainan-beda. Ada tiga hal yang perlu diuji sehubungan dengan tingkah laris siswa. Sampai seberapa jauh seorang siswa mampu menangkap lambang-lambang teoritis baik berupa kata-kata taupun angka-angka, ketajaman pancaindera, dan penangkapan kepada hal-hal yang subjektif mirip hal-hal yang bekerjasama dengan kebudayaan.
  • Bagaimana dampak siswa terhadap hal-hal yang diperoleh dari lambang-lambang teoritis di atas.
  • Bagaimana adab siswa dalam memberi argumentasi, bagaimana pendekatan pendekatan yang dilakukan oleh siswa terhadap sebuah dilema dan proses penyimpulannya.
  • Bagaimana kekuatan daya ingat siswa.[10]
Untuk mendapatkan data dari keempat hal tersebut mungkin bisa melalui tes diagnostig atau kuesioner. Hasil daripadanya merupakan merupakan indikasi karakteristik, latar belakang akademis dan sosial siswa yang hendak memiliki kegunaan dalam pelaksanaan, baik pengajaran individu maupun golongan.

Pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner-kuesioner tersebut memungkinkan dosen untuk mengenali hingga berapa jauh tujuan mahasiswa sesuai dengan tujuan dosen tentang mata kuliah tertentu. Perlu diamati, bahwa seorang dosen tidak bisa sembarangan dalam merubah mata pemikiran hanya untuk menggembirakan satu kelas tertentu. Akan namun perlu disadari bahwa apabila tujuan mahasiswa dan dosen perihal sebuah mata fatwa sangat berbeda, maka dosen sebaiknya menyampaikan tujuan mata anutan secara persuasif dan mengambarkan kepentingan serta relevansinya pada permulaan kuliah. Sebaiknya dosen juga meninjau uraian katalog ihwal mata kuliah tersebut; bila tujuan mahasiswa berbeda jauh dengan tujuan dosen, maka uraian mata kuliah tersebut perlu diperbaharui. Setiap pergeseran yang mempunyai arti harus disetujui oleh panitia kurikulum dan panitia jurusan lokal.[11]

BAB III
PENUTUP
Makalah Prilaku dan Karakteristik Siswa

Mengidentifikasi sikap permulaan dan karakteristik awal siswa ialah salah satu bagian penting dalam model pengembangan instruksional. Mengidentifikasinya dengan mengemukakan pendekatan “mendapatkan siswa apa adanya dan menyusun sistem instruksional atas dasar keadaan siswa/mahasiswa tersebut”. Karena itu, mengenali perilaku yang dikuasai mahasiswa sebelum mengikuti pelajaran diperlukan untuk mampu mencapai tujuan instruksional yang ditetapkan. Dengan kata lain, penetapan sebuah tujuan instruksional tergantung pada perilaku permulaan dan karakteristik permulaan siswa.

DAFTAR PUSTAKA
  • Atwi Suparman, Desain Instruksional, cet. 6, Jakarta: Universitas Terbuka, 1997
  • http://www.pustekom.go.id/teknodik/t13.htm
  • Mozes. R. Toelihere & Yuhara Sukra, Pedoman Perbaikan Pengajaran, Jakarta: UI-Press, 1988
  • Mudhoffir, Teknologi Instruksional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
  • Nana Sudjana, Teori-Teori Belajar Untuk Pengajaran, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
  • Rita Dunn & Kenneth Dunn, Educator’s Self Teaching Guide to Individualizing Instructional Programs, New York: Parker Publishing Co., 1975
  • Yusufhadi Miarso..dkk (pen), Defenisi Teknologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali, 1986
  • W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, cet. 7, Yogyakarta: Media Abadi, 2005
Footnote
---------------------
  1. Yusufhadi Miarso..dkk (pen), Defenisi Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1986) h. 47
  2. Atwi Suparman, Desain Instruksional, cet. 6 (Jakarta: Universitas Terbuka, 1997), h. 107
  3. Ibid., h. 109
  4. http://www.pustekom.go.id/teknodik/t13.htm
  5. W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, cet. 7 (Yogyakarta: Media Abadi, 2005), h. 150
  6. Lihat lebih lanjut, Nana Sudjana, Teori-Teori Belajar Untuk Pengajaran (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Uiversitas Indonesia ), h. 26-27
  7. Suparman, Desain ., h. 113
  8. Mudhoffir, Teknologi Instruksional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 101-102
  9. Rita Dunn & Kenneth Dunn, Educator’s Self Teaching Guide to Individualizing Instructional Programs (New York: Parker Publishing Co., 1975), h. 74-93, sebagaimana dikutip Mudhoffir, Ibid.
  10. Mudhoffir, Teknologi Instruksional., h. 103
  11. Mozes. R. Toelihere & Yuhara Sukra, Pedoman Perbaikan Pengajaran, (Jakarta: UI-Press, 1988), h. 8-9

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon