BAB I
PENDAHULUAN
Makalah tentang Sekte-Sekte Islam
PENDAHULUAN
Makalah tentang Sekte-Sekte Islam
Makalah sederhana ini merupakan pengembangan dari makalah penulis terdahulu mengenai “Agama Dan Sistem Kepercayaan Dalam Masyarakat”. Sebagai pengembangan, tentunya pemahaman tentang rancangan agama dan akidah akan semakin meluas atau bisa jadi semakin meruncing terhadap satu atau beberapa subpokok dari pembahasan utama. Untuk itu, penulis akan menjajal berbagi materi utama tersebut terhadap pembahasan yang penulis anggap ialah sebuah kajian yang menawan untuk dikaji dan diteliti, yakni tentang pertumbuhan agama atau kepercayaan tertentu menjadi sekte-sekte dan pemikiran keyakinan (kebatinan).
Munculnya sekte-sekte dan aliran doktrin tersebut diawali dari suatu gerakan-gerakan yang ingin berusaha melakukan rekonstruksi, purifikasi, penemuan dan lain sebagainya terhadap aliran-ajaran konvensional dan normatif dalam suatu agama atau dogma tertentu. Tapi seringkali, usaha-usaha yang dilakukan terkadang menciptakan sebuah fatwa-anutan yang menyimpang jauh dari agama asalnya, sehingga sekte-sekte yang meningkat tersebut kesudahannya menciptakan sebuah pemikiran-fatwa dan bahkan mengakibatkan sebuah agama yang gres pula. Makalah ini nantinya akan memberikan sedikit klarifikasi mengenai keyakinan dan agama secara sekilas, ditambah dengan deskripsi perihal kemunculan dan pertumbuhan sekte-sekte dan fatwa keyakinan yang hadir dalam sebuah penduduk atau komunitas agama, akan menjadi pembahasan utama dari goresan pena ini.
A. Tentang doktrin dan agama
Tulisan ini akan diawali dengan suatu pertanyaan sederhana, mengapa insan itu harus beragama? jawaban yang mungkin benar bahwa agama merupakan fitrah (keperluan dasar) insan. Ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang lemah dalam menghadapi banyak sekali persoalan dalam kehidupannya, untuk itu dia membutuhkan suatu kekuatan baru. Kekuatan gres itu tidak timbul dari dirinya, maka muncullah impian yang bermuara pada iktikad.[1] Jadi, iktikad ialah permulaan dari agama. Sebelum seseorang beragama, tentunya ia mesti percaya dulu dengan agama yang akan dianutnya, setelah percaya dan yakin baru kemudian mengamalkan anutan-ajaran agama tersebut. Agama berkaitan dengan iktikad kepada sesuatu yang mistik (numinous) dan suci (sacred)[2], sehingga insan yang lemah itu percaya bahwa sesuatu yang suci tersebut akan mampu membantunya dalam menangani banyak sekali duduk perkara dalam kehidupannya.
Rudolf Otto, dalam bukunya The Idea of Holy (1917) percaya bahwa rasa ihwal suatu yang mistik ini (numinous) ialah dasar-dasar dari agama: “perasaan itu mendahului setiap keinginan untuk menerangkan asal-ajakan dunia atau memperoleh landasan bagi sikap beretika: Kekuatan mistik dirasakan oleh insan dengan cara yang berlainan-beda. Terkadang menginspirasikan kegirangan liar dan memabukkan, seringkali ketenteraman mendalam, sering kali orang merasa kecut, kagum dan hina dihadapan kedatangan kekuatan misterius yang melekat dalam setiap faktor kehidupan”.[3]
Akibat dari rasa yakin manusia pada sesuatu yang mistik tadi akhirnya menimbulkan dogma kepada tuhan, ilahi-ilahi dan roh-roh. Konsekuensi yang muncul dari iktikad ini yakni munculnya pemujaan (cult) dan ibadat-ibadat yang dilaksanakan dalam bentuk yang bermacam-macam, sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Di sini, iktikad tersebut berkembang membentuk forum-forum, mirip upacara-upacara peribadatan, adanya pemimpin agama, kitab-kitab suci, ajaran-pedoman yang berisi perintah dan larangan dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, akidah nantinya menimbulkan agama, sehingga agama, sebagaimana sudah diterangkan di atas dapat diartikan selaku bentuk kepercayaan-akidah yang dilembagakan dan terencana.
Menarik usulan DR Ibnu Hajar bahwa akidah itu yang melahirkan agama, bukan agama yang melahirkan dogma. Sebuah pernyataan yang tepat, sebagaimana sudah diterangkan di atas bahwa setiap orang yang menerima wahyu dewa untuk memberikan sebuah agama kepada umat manusia, apalagi dahulu dia mesti percaya dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jika tidak ada iktikad kepada wahyu, agama tidak akan muncul dan meningkat mirip sekarang ini.
Selanjutnya agama berkembang dengan banyak sekali dimensinya. Berbicara tentang agama, maka kita akan memasuki daerah yang cukup luas. Mulai dari jenis agama yang beragam, defenisi yang bermacam-macam dan pendekatannya yang berlapis-lapis,[4] agama juga memasuki wilayah ilmu wawasan dan menjadi budaya. Persentuhan agama dan ilmu pengetahuan, melahirkan berbagai disiplin ilmu yang beragam pula, mirip sejarah agama, sosiologi agama, filsafat agama, antropologi agama dan seterusnya. Dalam sejarah umat manusia, agama mempunyai peran penting bagi peradaban manusia. Bagi suatu masyarakat, agama dijadikan sebagai fatwa-fatwa yang mampu menenteng insan kepada derajat yang tinggi. Maulana Muhammad menyatakan bahwa: “agama yaitu kekuatan yang telah mewujudkan pertumbuhan manusia mirip sekarang ini. Seorang Ibrahim, seorang Musa, seorang Isa, seorang Krisna, seorang Budha, seorang Muhammad, secara bergiliran dan sesuai dengan derajatnya masing-masing, sudah mengganti sejarah insan dan mengangkat derajat mereka dari lembah kehinaan menuju puncak ketinggian akhlak yang tak pernah diimpikan”.[5] Oleh karena itu, salah satu tujuan agama ialah untuk membuat manusia yang mempunyai nilai-nilai yang mampu mengakibatkan manusia tersebut berbudi pekerti luhur dan mulia, sesuai dengan aliran-anutan agama yang dianutnya masing-masing.
Namun dalam perjalananya, agama-agama yang memiliki tujuan mulia tersebut, ternyata tidak semua mampu bertahan dengan aneka macam dinamika yang kian kompleks, sehingga fatwa-ajarannya yang dianggap mapan, ternyata mampu diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu yang timbul dari agama tersebut. Pertanyaan yang lalu timbul ialah, bagaimana agama mampu melahirkan sekte-sekte atau fatwa-pemikiran gres dari agama tersebut, sehingga tak jarang fatwa-anutan atau sekte tersebut bermetamorfosis agama baru yang fatwa-ajarannya bisa begitu jauh berlawanan dari nilai-nilai agama asalnya? Berikut ini akan dibahas sedikit ihwal sekte-sekte dan pedoman (gerakan) iktikad dalam agama dengan aneka macam dinamikanya.
B. Sekte dan Aliran Kepercayaan
Karena muncul dari dari sebuah iman atau agama, maka sekte-sekte atau pemikiran-fatwa keagamaan merupakan konteks yang tidak bisa dipisahkan dari kajian agama dan kajian dalam ilmu-ilmu sosial, karena menyangkut individu dan sekelompok orang yang aktif di dalamnya. Beberapa mahir dalam hal ini mencoba mengklasifikasi ajaran-anutan tersebut. Soemarno W.S. bareng mahir riset lainnya menggolongkannya terhadap tiga jenis, yaitu: Golongan iman perorangan, yaitu golongan yang terdiri dari satu dua orang yang melaksanakan kepercayaan untuk kepentingan diri eksklusif tanpa usaha perluasan kepada orang lain. Golongan perguruan iman, yang menerima murid dan mempropagandakan ajarannya. kalangan perdukunan, di mana ilmu perdukunan dan pengobatan orisinil diterapkan bagi masyarakat yang memerlukannya.[6]
Dari penggolongan di atas, dimengerti bahwa sekte-sekte, gerakan dogma, aliran kebatinan dan lain-lain, masuk kedalam jenis yang pertama dan kedua, namun bukan berati bahwa jenis yang ketiga terbebas pengklasifikasian tersebut. Bisa jadi jenis yang ketiga mempunyai kesempatanuntuk mengakibatkan pemikiran-anutan yang dapat merealisasikan pedoman-fatwa akidah yang baru. Uraian di bawah ini, akan membicarakan tentang sekte-sekte dan aliran-pedoman kepercayaan tersebut.
Kata sekte berasal dari bahasa Latin “secta” yang berarti “kelompok yang mengikuti” (sequi) dan dalam perumpamaan Inggris disebut sects. Pada mulanya sekte dipakai untuk ajaran filsafat, agama, atau partai dengan ajaran atau kebiasaan khusus yang menyimpang dari golongan dominan.[7] Para anggota sekte umumnya akan memilih segi-sisi tertentu dari suatu fatwa dan menolak lainnya dari anutan agama seluruhnya. Dalam sejarah agama-agama besar dunia, sekte-sekte atau pedoman tertentu bukan ialah barang gres. Dalam agama Islam antara tahun 1090 hingga 1275 ada suatu organisasi yang bernama The Assasin (Hasyasyin/Nizariah) yang dipimpin oleh Hasan al-Sabbagh yang bertahan kurang lebih dua kala lamanya.[8] Sekte ini merupakan gerakan sempalan syiah Ismailiah yang bermarkas di Iran. Ciri khas dari sekte ini adalah mereka menyantap sejenis flora yang mampu menghilangkan kesadaran pemakainya sehingga berani untuk melaksanakan penculikan dan pembunuhan. Begitu juga dengan agama Kristen, pada periode pertama sudah dijumpai pendeta-pendeta palsu yang menerapkan fatwa-aliran yang menyimpang dari fatwa gereja.[9] Begitu juga dengan agama-agama lainnya seperti Yahudi, Hindu, Budha, dan lain sebagainya, masing-masing mempunyai kalangan keagamaan yang menyimpang dari anutan agama asalnya.
Konsep sosiologi mengenai sekte dan pemikiran (gerakan) akidah biasanya mengacu pada golongan religius, kecil maupun besar, dari bentuk organisasi yang sederhana maupun yang rumit, yang oleh anggota dan bukan anggotanya dianggap suatu penyimpangan dalam keterkaitannya dalam konteks iktikad dan budaya yang lebih luas. Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif bagi non-pengikut, namun berkonotasi aktual bagi para pengikutnya. Sehingga penyimpangan ini ialah ciri khas yang tetap dipertahankan oleh masing-masing pengikut sebuah aliran.
Ada dua argumentasi mengapa selama ini sekte lebih sering dipelajarai daripada pedoman (gerakan) kepercayaan. Pertama, untuk keperluan tertentu, ternyata tidak penting membedakan keduanya, dan para ilmuan sosial biasa memakai istilah “sekte” untuk menyebut anutan-ajaran tersebut. Kedua, walaupun sekte telah dikenal selaku istilah yang merendahkan, (umat Katolik telah usang menggunakan ungkapan ini untuk menyatakan tindakan murtad yang menyimpang dari doktri resmi) para hebat sosiologi periode 20 sudah menggunakan ungkapan tersebut tanpa menyiratkan evaluasi apapun. Orientasi ini muncul dari pandangan para ilmuan bahwa beberapa gerakan sekte memberi efek amat penting terhadap perkembangan konsepsi Barat tentang individualisme, organisasi relawan, dan demokrasi terutama sekte-sekte protestan kala 17.[10]
Di sisi sebaliknya, fatwa doktrin (cults) tidak memilki imbas kreatif pada masyarakat. aliran iktikad tidak mau menjadi kalangan terpencil. Mereka menawarkan keuntungan konkrit dan khusus pada pengikut, jadi bukan persepsi konprehensif wacana keselamatan sebagaimana lazimnya disampaikan sekte-sekte religius. Upaya membedakan sekte dan gerakan (pedoman) akidah menjadi kian rumit pada awal tahun 1970-an, alasannya semakin maraknya kalangan “pergerakan agama baru” yang kontroversial.[11] Para wartawan dan pemimpin gerakan lalu menjulukinya selaku gerakan iman yang bermaksud untuk mendorong kontrol hukum atas berbagai aktivitas mereka, terutama teknik dan metode konversi dalam memeprtahankan calon pengikut. Namun banyak gerakan gres ini lebih sempurna disebut sekte dari sudut pandang sosiologis.
Kajian terbaru wacana kelompok agama yang menyimpang pertama kali timbul di Jerman pada permulaan era ke-20 oleh Max Weber dan Ernst troeltsch. Sebagai jago sosiologi, Weber kesengsem pada kontribusi sekte Katolik pada konsep rasionalitas terbaru dan ekonomi individu. Troeltsch, sebagai ahli teologi yang mengerti sosiologi, secara khusus kesengsem pada sejarah Nasrani di mana terdapat kekerabatan saling imbas antara ortodoksi gereja dengan heterodoksi sektarian (pecahan dari doktrin resmi).[12] Setelah Weber dan Troeltsch, para pengkaji masalah gerakan religius semenjak pertengahan kala 20 kepincut pada banyak duduk perkara.
Salah satunya ialah peneliti Amerika berjulukan Jessica Stern dalam bukunya Terror in the Name of God: Why Religious Millitants Kill (2003) mencoba meneliti bagaimana abjad manusia-manusia yang menjadi pimpinan agama dan para pengikut mereka, yang dalam kenyataannya justru melaksanakan aneka macam kekejaman mirip terorisme, pembunuhan, dsb., sehingga mereka bisa menjadi lebih jahat (evil) daripada kejahatan yang konon ingin mereka berantas itu sendiri. Dalam buku ini diterangkan bagaimana sekte-sekte tersebut sukses melakukan indoktrinasi kepada anggotanya sehingga mereka punya pemahaman yang berpengaruh perihal pedoman yang diterimanya. Sebagai teladan, penganut sekte tertentu di Amerika Serikat diindoktrinasi dengan iman bahwa orang-orang kulit hitam (Negro) yakni keturunan monyet yang bergelantungan dari pohon ke pohon dengan ekornya.[13]
Tetapi orang-orang semacam apakah yang mampu diindoktrinasi mirip itu? Menurut Stern, mereka yaitu orang-orang ambivalent, bingung memandang kala depannya, dan tidak tahu mesti memilih jalan yang mana. Mereka bisa berisikan orang-orang yang secara sosial-ekonomi kurang punya kesempatan ke periode depan, tetapi mampu juga dari orang-orang muda, tergolong dari golongan arif, yang merasa tersisihkan dari keluarganya, atau tidak puas kepada pemerintah dan sebagainya.[14] Sejajar dengan hal itu, argumentasi orang terpesona pada sebuah sekte disebutkan antara lain: kebutuhan untuk mengaktikan emosionalitas dalam ibadat dan kekerabatan yang hangat dalam umat atau komunitas yang relatif kecil. Dalam beberapa sekte, anggota-anggotanya merasa diterima sepenuhnya, ikut dalam pengurusnya, dapat menyumbang pada ibadatnya dan lain sebagainya.[15]
Istilah sekte sering menyiratkan pemahaman buruk, dan perumpamaan gerakan doktrin utamanya berkaitan dengan sifat kontroversial dari aneka macam praktek gerakan-gerakan ini. Sebagian diantaranya dituduh melakukan perjuangan ‘mencuci otak’ pera pengikutnya atau terlibat dengan prilaku seksual yang menyimpang. Gerakan ini kadangkala terjerumus dalam tindak kekerasan fisisk yang tragis, masalah-kasus terkenal yang terjadi di dunia Barat memberikan tindak bunuh diri, atau pembunuhan massal lebih dari 900 pengikut People’s Temple di Jonestown, Guyana tahun 1978; kematian 78 anggota Branch Davidians di Waco, Texas tahun 1993; dan ajal sekitar 50 anggota Solar Temple di Chiery, Swiss tahun 1993.[16]
Strategi yang dipakai para pemimpin sekte atau golongan keagamaan yang menyimpang untuk untuk meninggikan citra diri supaya dihormati dan disegani oleh para anggotanya, antara lain dengan mengajarkan wacana hari akhir zaman dan pengadilan simpulan yang menyebabkan kecemasan di satu pihak dan usulan pertolongan yang mampu diberikan oleh sekte agama tersebut di pihak lain. para anggota pun diharuskan untuk saling melindungi rekannya sekelompok dari ancaman pengaruh dari luar. Yang gagal melakukan ini, akan ditegur dan dipermalukan di depan anggota-anggota yang lain, dan untuk memastikan eksklusivisme mereka, umumnya mereka memilih kawasan yang juga pribadi dan terisolir.
Misalnya pada tahun 1985, di suatu daerah pinggiran di negara bab Arkansas, sejumlah 200 orang anggota pasukan pemerintah AS, mengepung sebuah pemukiman yang terisolir dari keramaian, yang dihuni oleh pengikut sekte Kristen yang bernama CSA (Convenant, the Sword and the Arm of the Lord) yang dipimpin oleh pendeta James Ellison. Kelompok sekte ini sudah mengantisipasi serangan lawan dari luar, ialah dengan cara menyebar ranjau di sekitar pemukiman mereka, dan menawarkan materi pangan untuk penghuni dalam pemukiman yang cukup untuk lima tahun.[17]
Bagaimana cara James Ellison mampu menghimpun anggotanya yang begitu fanatik dan mau melakukan apa saja yang diperintahkannya? Salah satu caranya adalah dengan menciptakan pedoman sendiri yang mempesona, alasannya memperlihatkan solusi yang tegas dan terperinci. Ajaran yang diciptakan sendiri ini, dijalankan juga dengan cara meramu banyak sekali fatwa menjadi satu. Shoko Ashara, pemimpin sekte Aum Shinrikyo, misalnya, meramu doktrinnya menurut campuran pedoman-ajaran Hindu, Budha dan Katolik. Untuk menjaga legitimasi otoritasnya, beliau meminta kesetiaan sarat anggota-anggotanya. Dalam aliran-pedoman yang diciptakan sendiri itu, dikembangkan pula kepercayaan-doktrin yang mengajarkan bahwa pemimpin sekte adalah insan hebat, yang tidak bisa melakukan kesalahan (dalam perumpamaan Islam disebut ma’sum) seperti Yesus dan nabi-nabi. Karena itu, beliau boleh saja melakukan hal-hal yang menyimpang tanpa disalahkan, contohnya melakukan relasi seks partner manapun yang dia sukai, meminta agar anggota-anggotanya menyerahkan seluruh kekayaannya kepadanya dan sebagainya. [18] penyerahan harta kekayaan ini juga terjadi dalam sekte Kiamat-pondok Nabi, pimpinan Mangapin Sibuea di Bandung.[19]
Bagaimana dengan Indonesia, tidak jauh berbeda juga, bahkan sekte-sekte dan anutan-pedoman keyakinan meningkat dengan pesatnya. Misalnya: sekte Lia Aminuddin, sekte kiamat-pondok nabi pimpinan Mangapin Sibuea, aliran Madi di Sulawesi, Parmalim di Sumatera Utara dan seterusnya. Pada tahun 1965 tercatat lebih dari 300 sekte atau pedoman-ajaran iman yang ada di Indonesia,[20] jika ditambahkan dengan pedoman-pemikiran yang meningkat dewasa ini, maka jumlahnya pasti lebih banyak lagi.
Menurut Mustofa, kriminolog Universitas Indonesia menyatakan, munculnya anutan-pemikiran sesat atau “nyeleneh” dalam sebuah agama dapat berawal dari ketidak puasan kepada status quo. Kemapanan anutan atau mazhab tertentu bisa jadi teramat membosankan bagi sebagian kelompok. Sehingga mereka pun menjajal mencari bentuk gres yang lebih pas minimal bagi dirinya. Apalagi, agama menyerupai seni, kepuasan tiap individu berlainan dikala beribadah. Terlebih, kini individualisme semakin tak terelakkan.[21]
Pada hakikatnya agama menunjukkan pelayanan terhadap manusia untuk menjalani kehidupan yang bagus dan keamanan di dunia dan darul baka. Namun dalam prakteknya, insan kadang-kadang menafsirkan aliran-pedoman agama tersebut kedalam banyak model, sehingga muncul dari suatu agama sekelompok orang yang menyimpang dari fatwa-pemikiran resmi dari agama tersebut. Maka muncullah yang disebut sekte, gerakan kepercayaan, ajaran kebatinan, dan lain sebagainya. Namun, dibalik munculnya sekte-sekte tersebut, mampu menjadi pelajaran berguna dan faktor kajian yang cukup menarik, terutama dalam kajian ilmu sosial perihal agama.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comMunculnya sekte-sekte dan aliran doktrin tersebut diawali dari suatu gerakan-gerakan yang ingin berusaha melakukan rekonstruksi, purifikasi, penemuan dan lain sebagainya terhadap aliran-ajaran konvensional dan normatif dalam suatu agama atau dogma tertentu. Tapi seringkali, usaha-usaha yang dilakukan terkadang menciptakan sebuah fatwa-anutan yang menyimpang jauh dari agama asalnya, sehingga sekte-sekte yang meningkat tersebut kesudahannya menciptakan sebuah pemikiran-fatwa dan bahkan mengakibatkan sebuah agama yang gres pula. Makalah ini nantinya akan memberikan sedikit klarifikasi mengenai keyakinan dan agama secara sekilas, ditambah dengan deskripsi perihal kemunculan dan pertumbuhan sekte-sekte dan fatwa keyakinan yang hadir dalam sebuah penduduk atau komunitas agama, akan menjadi pembahasan utama dari goresan pena ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah ihwal Sekte-Sekte Islam
PEMBAHASAN
Makalah ihwal Sekte-Sekte Islam
A. Tentang doktrin dan agama
Tulisan ini akan diawali dengan suatu pertanyaan sederhana, mengapa insan itu harus beragama? jawaban yang mungkin benar bahwa agama merupakan fitrah (keperluan dasar) insan. Ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang lemah dalam menghadapi banyak sekali persoalan dalam kehidupannya, untuk itu dia membutuhkan suatu kekuatan baru. Kekuatan gres itu tidak timbul dari dirinya, maka muncullah impian yang bermuara pada iktikad.[1] Jadi, iktikad ialah permulaan dari agama. Sebelum seseorang beragama, tentunya ia mesti percaya dulu dengan agama yang akan dianutnya, setelah percaya dan yakin baru kemudian mengamalkan anutan-ajaran agama tersebut. Agama berkaitan dengan iktikad kepada sesuatu yang mistik (numinous) dan suci (sacred)[2], sehingga insan yang lemah itu percaya bahwa sesuatu yang suci tersebut akan mampu membantunya dalam menangani banyak sekali duduk perkara dalam kehidupannya.
Rudolf Otto, dalam bukunya The Idea of Holy (1917) percaya bahwa rasa ihwal suatu yang mistik ini (numinous) ialah dasar-dasar dari agama: “perasaan itu mendahului setiap keinginan untuk menerangkan asal-ajakan dunia atau memperoleh landasan bagi sikap beretika: Kekuatan mistik dirasakan oleh insan dengan cara yang berlainan-beda. Terkadang menginspirasikan kegirangan liar dan memabukkan, seringkali ketenteraman mendalam, sering kali orang merasa kecut, kagum dan hina dihadapan kedatangan kekuatan misterius yang melekat dalam setiap faktor kehidupan”.[3]
Akibat dari rasa yakin manusia pada sesuatu yang mistik tadi akhirnya menimbulkan dogma kepada tuhan, ilahi-ilahi dan roh-roh. Konsekuensi yang muncul dari iktikad ini yakni munculnya pemujaan (cult) dan ibadat-ibadat yang dilaksanakan dalam bentuk yang bermacam-macam, sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Di sini, iktikad tersebut berkembang membentuk forum-forum, mirip upacara-upacara peribadatan, adanya pemimpin agama, kitab-kitab suci, ajaran-pedoman yang berisi perintah dan larangan dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, akidah nantinya menimbulkan agama, sehingga agama, sebagaimana sudah diterangkan di atas dapat diartikan selaku bentuk kepercayaan-akidah yang dilembagakan dan terencana.
Menarik usulan DR Ibnu Hajar bahwa akidah itu yang melahirkan agama, bukan agama yang melahirkan dogma. Sebuah pernyataan yang tepat, sebagaimana sudah diterangkan di atas bahwa setiap orang yang menerima wahyu dewa untuk memberikan sebuah agama kepada umat manusia, apalagi dahulu dia mesti percaya dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jika tidak ada iktikad kepada wahyu, agama tidak akan muncul dan meningkat mirip sekarang ini.
Selanjutnya agama berkembang dengan banyak sekali dimensinya. Berbicara tentang agama, maka kita akan memasuki daerah yang cukup luas. Mulai dari jenis agama yang beragam, defenisi yang bermacam-macam dan pendekatannya yang berlapis-lapis,[4] agama juga memasuki wilayah ilmu wawasan dan menjadi budaya. Persentuhan agama dan ilmu pengetahuan, melahirkan berbagai disiplin ilmu yang beragam pula, mirip sejarah agama, sosiologi agama, filsafat agama, antropologi agama dan seterusnya. Dalam sejarah umat manusia, agama mempunyai peran penting bagi peradaban manusia. Bagi suatu masyarakat, agama dijadikan sebagai fatwa-fatwa yang mampu menenteng insan kepada derajat yang tinggi. Maulana Muhammad menyatakan bahwa: “agama yaitu kekuatan yang telah mewujudkan pertumbuhan manusia mirip sekarang ini. Seorang Ibrahim, seorang Musa, seorang Isa, seorang Krisna, seorang Budha, seorang Muhammad, secara bergiliran dan sesuai dengan derajatnya masing-masing, sudah mengganti sejarah insan dan mengangkat derajat mereka dari lembah kehinaan menuju puncak ketinggian akhlak yang tak pernah diimpikan”.[5] Oleh karena itu, salah satu tujuan agama ialah untuk membuat manusia yang mempunyai nilai-nilai yang mampu mengakibatkan manusia tersebut berbudi pekerti luhur dan mulia, sesuai dengan aliran-anutan agama yang dianutnya masing-masing.
Namun dalam perjalananya, agama-agama yang memiliki tujuan mulia tersebut, ternyata tidak semua mampu bertahan dengan aneka macam dinamika yang kian kompleks, sehingga fatwa-ajarannya yang dianggap mapan, ternyata mampu diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu yang timbul dari agama tersebut. Pertanyaan yang lalu timbul ialah, bagaimana agama mampu melahirkan sekte-sekte atau fatwa-pemikiran gres dari agama tersebut, sehingga tak jarang fatwa-anutan atau sekte tersebut bermetamorfosis agama baru yang fatwa-ajarannya bisa begitu jauh berlawanan dari nilai-nilai agama asalnya? Berikut ini akan dibahas sedikit ihwal sekte-sekte dan pedoman (gerakan) iktikad dalam agama dengan aneka macam dinamikanya.
B. Sekte dan Aliran Kepercayaan
Karena muncul dari dari sebuah iman atau agama, maka sekte-sekte atau pemikiran-fatwa keagamaan merupakan konteks yang tidak bisa dipisahkan dari kajian agama dan kajian dalam ilmu-ilmu sosial, karena menyangkut individu dan sekelompok orang yang aktif di dalamnya. Beberapa mahir dalam hal ini mencoba mengklasifikasi ajaran-anutan tersebut. Soemarno W.S. bareng mahir riset lainnya menggolongkannya terhadap tiga jenis, yaitu: Golongan iman perorangan, yaitu golongan yang terdiri dari satu dua orang yang melaksanakan kepercayaan untuk kepentingan diri eksklusif tanpa usaha perluasan kepada orang lain. Golongan perguruan iman, yang menerima murid dan mempropagandakan ajarannya. kalangan perdukunan, di mana ilmu perdukunan dan pengobatan orisinil diterapkan bagi masyarakat yang memerlukannya.[6]
Dari penggolongan di atas, dimengerti bahwa sekte-sekte, gerakan dogma, aliran kebatinan dan lain-lain, masuk kedalam jenis yang pertama dan kedua, namun bukan berati bahwa jenis yang ketiga terbebas pengklasifikasian tersebut. Bisa jadi jenis yang ketiga mempunyai kesempatanuntuk mengakibatkan pemikiran-anutan yang dapat merealisasikan pedoman-fatwa akidah yang baru. Uraian di bawah ini, akan membicarakan tentang sekte-sekte dan aliran-pedoman kepercayaan tersebut.
Kata sekte berasal dari bahasa Latin “secta” yang berarti “kelompok yang mengikuti” (sequi) dan dalam perumpamaan Inggris disebut sects. Pada mulanya sekte dipakai untuk ajaran filsafat, agama, atau partai dengan ajaran atau kebiasaan khusus yang menyimpang dari golongan dominan.[7] Para anggota sekte umumnya akan memilih segi-sisi tertentu dari suatu fatwa dan menolak lainnya dari anutan agama seluruhnya. Dalam sejarah agama-agama besar dunia, sekte-sekte atau pedoman tertentu bukan ialah barang gres. Dalam agama Islam antara tahun 1090 hingga 1275 ada suatu organisasi yang bernama The Assasin (Hasyasyin/Nizariah) yang dipimpin oleh Hasan al-Sabbagh yang bertahan kurang lebih dua kala lamanya.[8] Sekte ini merupakan gerakan sempalan syiah Ismailiah yang bermarkas di Iran. Ciri khas dari sekte ini adalah mereka menyantap sejenis flora yang mampu menghilangkan kesadaran pemakainya sehingga berani untuk melaksanakan penculikan dan pembunuhan. Begitu juga dengan agama Kristen, pada periode pertama sudah dijumpai pendeta-pendeta palsu yang menerapkan fatwa-aliran yang menyimpang dari fatwa gereja.[9] Begitu juga dengan agama-agama lainnya seperti Yahudi, Hindu, Budha, dan lain sebagainya, masing-masing mempunyai kalangan keagamaan yang menyimpang dari anutan agama asalnya.
Konsep sosiologi mengenai sekte dan pemikiran (gerakan) akidah biasanya mengacu pada golongan religius, kecil maupun besar, dari bentuk organisasi yang sederhana maupun yang rumit, yang oleh anggota dan bukan anggotanya dianggap suatu penyimpangan dalam keterkaitannya dalam konteks iktikad dan budaya yang lebih luas. Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif bagi non-pengikut, namun berkonotasi aktual bagi para pengikutnya. Sehingga penyimpangan ini ialah ciri khas yang tetap dipertahankan oleh masing-masing pengikut sebuah aliran.
Ada dua argumentasi mengapa selama ini sekte lebih sering dipelajarai daripada pedoman (gerakan) kepercayaan. Pertama, untuk keperluan tertentu, ternyata tidak penting membedakan keduanya, dan para ilmuan sosial biasa memakai istilah “sekte” untuk menyebut anutan-ajaran tersebut. Kedua, walaupun sekte telah dikenal selaku istilah yang merendahkan, (umat Katolik telah usang menggunakan ungkapan ini untuk menyatakan tindakan murtad yang menyimpang dari doktri resmi) para hebat sosiologi periode 20 sudah menggunakan ungkapan tersebut tanpa menyiratkan evaluasi apapun. Orientasi ini muncul dari pandangan para ilmuan bahwa beberapa gerakan sekte memberi efek amat penting terhadap perkembangan konsepsi Barat tentang individualisme, organisasi relawan, dan demokrasi terutama sekte-sekte protestan kala 17.[10]
Di sisi sebaliknya, fatwa doktrin (cults) tidak memilki imbas kreatif pada masyarakat. aliran iktikad tidak mau menjadi kalangan terpencil. Mereka menawarkan keuntungan konkrit dan khusus pada pengikut, jadi bukan persepsi konprehensif wacana keselamatan sebagaimana lazimnya disampaikan sekte-sekte religius. Upaya membedakan sekte dan gerakan (pedoman) akidah menjadi kian rumit pada awal tahun 1970-an, alasannya semakin maraknya kalangan “pergerakan agama baru” yang kontroversial.[11] Para wartawan dan pemimpin gerakan lalu menjulukinya selaku gerakan iman yang bermaksud untuk mendorong kontrol hukum atas berbagai aktivitas mereka, terutama teknik dan metode konversi dalam memeprtahankan calon pengikut. Namun banyak gerakan gres ini lebih sempurna disebut sekte dari sudut pandang sosiologis.
Kajian terbaru wacana kelompok agama yang menyimpang pertama kali timbul di Jerman pada permulaan era ke-20 oleh Max Weber dan Ernst troeltsch. Sebagai jago sosiologi, Weber kesengsem pada kontribusi sekte Katolik pada konsep rasionalitas terbaru dan ekonomi individu. Troeltsch, sebagai ahli teologi yang mengerti sosiologi, secara khusus kesengsem pada sejarah Nasrani di mana terdapat kekerabatan saling imbas antara ortodoksi gereja dengan heterodoksi sektarian (pecahan dari doktrin resmi).[12] Setelah Weber dan Troeltsch, para pengkaji masalah gerakan religius semenjak pertengahan kala 20 kepincut pada banyak duduk perkara.
Salah satunya ialah peneliti Amerika berjulukan Jessica Stern dalam bukunya Terror in the Name of God: Why Religious Millitants Kill (2003) mencoba meneliti bagaimana abjad manusia-manusia yang menjadi pimpinan agama dan para pengikut mereka, yang dalam kenyataannya justru melaksanakan aneka macam kekejaman mirip terorisme, pembunuhan, dsb., sehingga mereka bisa menjadi lebih jahat (evil) daripada kejahatan yang konon ingin mereka berantas itu sendiri. Dalam buku ini diterangkan bagaimana sekte-sekte tersebut sukses melakukan indoktrinasi kepada anggotanya sehingga mereka punya pemahaman yang berpengaruh perihal pedoman yang diterimanya. Sebagai teladan, penganut sekte tertentu di Amerika Serikat diindoktrinasi dengan iman bahwa orang-orang kulit hitam (Negro) yakni keturunan monyet yang bergelantungan dari pohon ke pohon dengan ekornya.[13]
Tetapi orang-orang semacam apakah yang mampu diindoktrinasi mirip itu? Menurut Stern, mereka yaitu orang-orang ambivalent, bingung memandang kala depannya, dan tidak tahu mesti memilih jalan yang mana. Mereka bisa berisikan orang-orang yang secara sosial-ekonomi kurang punya kesempatan ke periode depan, tetapi mampu juga dari orang-orang muda, tergolong dari golongan arif, yang merasa tersisihkan dari keluarganya, atau tidak puas kepada pemerintah dan sebagainya.[14] Sejajar dengan hal itu, argumentasi orang terpesona pada sebuah sekte disebutkan antara lain: kebutuhan untuk mengaktikan emosionalitas dalam ibadat dan kekerabatan yang hangat dalam umat atau komunitas yang relatif kecil. Dalam beberapa sekte, anggota-anggotanya merasa diterima sepenuhnya, ikut dalam pengurusnya, dapat menyumbang pada ibadatnya dan lain sebagainya.[15]
Istilah sekte sering menyiratkan pemahaman buruk, dan perumpamaan gerakan doktrin utamanya berkaitan dengan sifat kontroversial dari aneka macam praktek gerakan-gerakan ini. Sebagian diantaranya dituduh melakukan perjuangan ‘mencuci otak’ pera pengikutnya atau terlibat dengan prilaku seksual yang menyimpang. Gerakan ini kadangkala terjerumus dalam tindak kekerasan fisisk yang tragis, masalah-kasus terkenal yang terjadi di dunia Barat memberikan tindak bunuh diri, atau pembunuhan massal lebih dari 900 pengikut People’s Temple di Jonestown, Guyana tahun 1978; kematian 78 anggota Branch Davidians di Waco, Texas tahun 1993; dan ajal sekitar 50 anggota Solar Temple di Chiery, Swiss tahun 1993.[16]
Strategi yang dipakai para pemimpin sekte atau golongan keagamaan yang menyimpang untuk untuk meninggikan citra diri supaya dihormati dan disegani oleh para anggotanya, antara lain dengan mengajarkan wacana hari akhir zaman dan pengadilan simpulan yang menyebabkan kecemasan di satu pihak dan usulan pertolongan yang mampu diberikan oleh sekte agama tersebut di pihak lain. para anggota pun diharuskan untuk saling melindungi rekannya sekelompok dari ancaman pengaruh dari luar. Yang gagal melakukan ini, akan ditegur dan dipermalukan di depan anggota-anggota yang lain, dan untuk memastikan eksklusivisme mereka, umumnya mereka memilih kawasan yang juga pribadi dan terisolir.
Misalnya pada tahun 1985, di suatu daerah pinggiran di negara bab Arkansas, sejumlah 200 orang anggota pasukan pemerintah AS, mengepung sebuah pemukiman yang terisolir dari keramaian, yang dihuni oleh pengikut sekte Kristen yang bernama CSA (Convenant, the Sword and the Arm of the Lord) yang dipimpin oleh pendeta James Ellison. Kelompok sekte ini sudah mengantisipasi serangan lawan dari luar, ialah dengan cara menyebar ranjau di sekitar pemukiman mereka, dan menawarkan materi pangan untuk penghuni dalam pemukiman yang cukup untuk lima tahun.[17]
Bagaimana cara James Ellison mampu menghimpun anggotanya yang begitu fanatik dan mau melakukan apa saja yang diperintahkannya? Salah satu caranya adalah dengan menciptakan pedoman sendiri yang mempesona, alasannya memperlihatkan solusi yang tegas dan terperinci. Ajaran yang diciptakan sendiri ini, dijalankan juga dengan cara meramu banyak sekali fatwa menjadi satu. Shoko Ashara, pemimpin sekte Aum Shinrikyo, misalnya, meramu doktrinnya menurut campuran pedoman-ajaran Hindu, Budha dan Katolik. Untuk menjaga legitimasi otoritasnya, beliau meminta kesetiaan sarat anggota-anggotanya. Dalam aliran-pedoman yang diciptakan sendiri itu, dikembangkan pula kepercayaan-doktrin yang mengajarkan bahwa pemimpin sekte adalah insan hebat, yang tidak bisa melakukan kesalahan (dalam perumpamaan Islam disebut ma’sum) seperti Yesus dan nabi-nabi. Karena itu, beliau boleh saja melakukan hal-hal yang menyimpang tanpa disalahkan, contohnya melakukan relasi seks partner manapun yang dia sukai, meminta agar anggota-anggotanya menyerahkan seluruh kekayaannya kepadanya dan sebagainya. [18] penyerahan harta kekayaan ini juga terjadi dalam sekte Kiamat-pondok Nabi, pimpinan Mangapin Sibuea di Bandung.[19]
Bagaimana dengan Indonesia, tidak jauh berbeda juga, bahkan sekte-sekte dan anutan-pedoman keyakinan meningkat dengan pesatnya. Misalnya: sekte Lia Aminuddin, sekte kiamat-pondok nabi pimpinan Mangapin Sibuea, aliran Madi di Sulawesi, Parmalim di Sumatera Utara dan seterusnya. Pada tahun 1965 tercatat lebih dari 300 sekte atau pedoman-ajaran iman yang ada di Indonesia,[20] jika ditambahkan dengan pedoman-pemikiran yang meningkat dewasa ini, maka jumlahnya pasti lebih banyak lagi.
Menurut Mustofa, kriminolog Universitas Indonesia menyatakan, munculnya anutan-pemikiran sesat atau “nyeleneh” dalam sebuah agama dapat berawal dari ketidak puasan kepada status quo. Kemapanan anutan atau mazhab tertentu bisa jadi teramat membosankan bagi sebagian kelompok. Sehingga mereka pun menjajal mencari bentuk gres yang lebih pas minimal bagi dirinya. Apalagi, agama menyerupai seni, kepuasan tiap individu berlainan dikala beribadah. Terlebih, kini individualisme semakin tak terelakkan.[21]
BAB III
PENUTUP
Makalah perihal Sekte-Sekte Islam
PENUTUP
Makalah perihal Sekte-Sekte Islam
Pada hakikatnya agama menunjukkan pelayanan terhadap manusia untuk menjalani kehidupan yang bagus dan keamanan di dunia dan darul baka. Namun dalam prakteknya, insan kadang-kadang menafsirkan aliran-pedoman agama tersebut kedalam banyak model, sehingga muncul dari suatu agama sekelompok orang yang menyimpang dari fatwa-pemikiran resmi dari agama tersebut. Maka muncullah yang disebut sekte, gerakan kepercayaan, ajaran kebatinan, dan lain sebagainya. Namun, dibalik munculnya sekte-sekte tersebut, mampu menjadi pelajaran berguna dan faktor kajian yang cukup menarik, terutama dalam kajian ilmu sosial perihal agama.
- Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
- A. Heuken S.J. Ensiklopedi Gereja, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1994
- Ensiklopedi Islam, Jilid I, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2003
- Hadi Rahman dalam Forum Keadilan, 5 juni 2005
- http:/www. Sarlito.Net.ms/books.html
- Jessica Stern, Terror in the Name of God; Why Religious Millitants Kill, Harper Collin Publisher, New York, 2003
- Majalah Gatra, 22 November 2003
- Maulana Muhammad Ali, Islamologi, Darul Kutubiah Islamiah, Cet. Kelima, Jakarta, 1996
- M. Habib Mustopo, Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya, Usaha Nasional, Surabaya, 1988, h. 59
- Nur Ahmad Fadhil Lubis, Agama Sebagai Sistem Kultural, IAIN Press, Medan, 2000
- Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung, 2001
- Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kebatinan, Kerohanian, kejiwaan, Kanisius, Cet. Kesebelas, Yogyakarta, 1995
EmoticonEmoticon