Senin, 23 November 2020

Nu Dibuat Sebagai Wadah Jamaah

A. LATAR BELAKANG DIDIRIKANNYA NU31 Sesungguhnya pemicu berdirinya NU yaitu langkah-langkah penguasa gres Arab Saudi di tahun 1920-an yang berpaham Wahabi yang sudah berlebih dalam menerapkan program pemurnian pemikiran Islam. Kala itu pemerintah Arab Saudi menggusur beberapa petilasan sejarah Islam, seperti makam beberapa satria Islam dengan dalih mencegah kultus individu. Mereka juga melarang aktivitas mauludan, bacaan berzanji, diba’an dan sebagainya. Sama dengan argumentasi di atas, seluruh aktivitas tersebut tidak boleh sebab mengarah kepada kultus individu. Tidak berhenti hingga di situ, pemerintah dikala itu juga selalu membatasi jalan bagi madzhab-madzhab selain madzhab Wahabi, utamanya madzhab empat. Sedangkan argumentasi berikutnya yaitu keinginan untuk menempatkan diri selaku penerus khalifah tunggal dunia Islam. Karenanya mereka antara lain memanggil  negara  atau jama’ah Islam dari seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk menghadiri muktamar khilafah di Arab Saudi, walaupun akhirnya gagal dikerjakan. Para ulama Indonesia (khususnya para pengasuh pondok pesantren, ulama Ahlussunnah wal Jama’ah) menolak keras langkah-langkah penguasa gres Arab Saudi tersebut. Ulama pesantren berniat ikut dalam utusan ulama Islam Indonesia yang mau hadir pada muktamar khilafah guna mencari peluang untuk memberikan keberatan mereka yang mewakili mayoritas umat Islam Indonesia terhadap penguasa baru Arab Saudi. Namun maksud tersebut terhalang alasannya ditolak oleh beberapa golongan Islam lainnya dengan argumentasi ulama pesantren tidak memiliki organisasi mirip Muhammadiyah, Syarikat Islam dan lain sebagainya. Penolakan yang dilatarbelakangi dengan belum adanya organisasi ulama ini, telah mengobarkan semangat para ulama pesantren untuk menunjukkan kemandirian dan kekuatannya. Sebuah tekad mengirim sendiri utusan ulama pesantren dengan nama Komite Hijaz kesudahannya dilakukan guna menghadap penguasa baru Arab Saudi, sekaligus menyampaikan keberatan para ulama Indonesia. Ternyata Komite Hijaz tersebut berhasil mengumpulkan dana dan daya untuk mengirim sendiri delegasi ke Arab Saudi tanpa terkait dengan delegasi umat Islam Indonesia. Ketika  delegasi  Komite  Hijaz akan berangkat, disepakati Komite Hijaz dijadikan organisasi (jam’iyyah) permanen dan diberi nama Nahdlatoel Oelama (NO), yang mempunyai arti kebangkitan para ulama. Hal itu untuk menawarkan bahwa para ulama yang selama ini dianggap kolot, tradisional, ndeso dan sebagainya, telah bangun tidak cuma berkumpul, berhimpun, namun bangun, bangkit, bangkit, dan melangkah. NU diresmikan sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan). Jam’iyyah ini dibentuk utuk menjadi wadah usaha para ulama dan para pengikutnya. Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak senantiasa mempunyai arti NU cuma beranggotakan ulama, namun memiliki maksud bahwa ulama mempunyai kedudukan istimewa di dalam NU, sebab dia adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah . Sebagai organisasi keagamaan, kedudukan pewaris ini mutlak penting adanya. Tentu mutu keulamaan di dalam NU harus lebih terseleksi pada yang lain. Ada tolok ukur dan tolok ukur yang ketat untuk menjadi ulama NU, di antaranya mempunyai syarat keilmuan, perilaku mental, perilaku dan akhlak, sehingga pantas menjadi panutan umat. Oleh alasannya adalah itu NU mesti menjadi panutan pihak lain. Kualitas NU sangat tergantung kepada mutu ulamanya. Setelah ulama pesantren membentuk jam’iyyah NU, maka semesti- nya segala tindakan mereka disalurkan lewat organisasi ini. Akan namun hal ini cukup disayangkan, bahkan dalam kenyataannya yang terjadi justru beberapa gejala berikut: a. Ulama pesantren masih mempunyai dan berpegang terhadap kemandirian masing-masing, terutama dalam mengorganisir basis sosialnya (para santri dan keluarga serta para murid dan santri). Campur tangan atau kerjasama yang dapat dilaksanakan oleh NU masih sangat kecil. b. Uniknya basis sosial para ulama tersebut sungguh fanatik terhadap NU, mampu berjuang mati-matian mengamalkan pemikiran NU mirip tahlil, talqin, dan sebagainya. c. Hampir seratus persen alumni pesantren menjadi warga NU, walaupun tidak ada pesantren yang memakai nama NU dan tidak diberikan pelajaran perihal ke-NU-an. Sepertinya mereka jadi NU secara alamiah. Karena itu maka jangan heran jika ke-NU-annya juga selalu alamiah. Melihat kondisi ini, maka NU mempunyai dua wajah: Pertama, tampang jam’iyyah (NU jam’iyyah), yaitu selaku organisasi formal struktural yang mengikuti prosedur organisasi terbaru mirip memiliki pengelola, pengesahan pengurus, penyeleksian pengelola, anggota, iuran, rapat-rapat resmi, keputusan-keputusan resmi, dan lain sebagainya. Kedua, muka jama’ah (NU jama’ah), ialah kalangan ideologis kultural yang mempunyai pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan mereka tidak mau dibilang bukan orang NU. Mereka tersebar dalam aneka macam kelompok aktivitas, seperti jama’ah yasinan, tahlilan, wali murid madrasah NU, jama’ah mushalla, dan sebagainya. Anehnya, mereka tidak gampang diatur sebagai jam’iyyah NU. Kedua macam kalangan tersebut, merupakan potensi bagi organisasi ini. Masing-masing mesti diurus secara baik dan tepat. Bahkan idealnya jam’iyyah NU dapat menjadi organisasi kader dengan melaksanakan tindakan taktis seperti: 1. Tertib administrasi dan organisasi, mulai dari registrasi anggota, mutasi, proses pembentukan pengelola, dan sebagainya. 2. Pembinaan ideologi dan pengetahuan yang mumpuni. 3. Disiplin operasional dan tindakan usaha. Sedangkan sebagai jama’ah NU, mereka diperlukan menjadi pendukung massal bagi ide, perilaku, langkah amaliyah organisasi dan sebagainya, meskipun eksistensi mereka tidak terdaftar sebagai warga jam’iyyah NU. B. FUNGSI PONDOK PESANTREN BAGI NAHDLATUL ULAMA32 Pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam tertua di tanah air. Lazimnya dalam pesantren, seorang ulama dikelilingi beberapa santri yang mempelajari agama Islam sekaligus menjadi penerus penyebaran Islam. Dengan bahasa lain, santri dididik menjadi kader penerus usaha Islam serta dilatih untuk menjadi pelayan penduduk . Oleh sebab itu, di samping pesantren berfungsi sebagai forum pendidikan Islam dan lembaga usaha Islam, juga selaku lembaga pelayanan masyarakat. Ketika modernisasi Islam hadir di tanah air yang ingin meningkatkan pendidikan Islam dengan mengadakan forum pendidikan Islam di luar pesantren, sekaligus meninggalkan pesantren (karena dianggap tidak mampu memburu kemajuan zaman), maka ulama pengasuh pesantren menolak keras hal tersebut. Mereka bertekad, betapapun melarat, lambat dan beratnya pesantren mesti tetap dipertahankan. Berbagai kelemahannya mesti diperbaiki, tidak dengan meninggal- kannya. Hal itu bukannya tanpa argumentasi, alasannya pesantren telah sukses mendidik para kader Islam yang menyatu dengan masyarakat. Demikian pula pesantren sudah menjadi kiblat serta panutan umat. Meninggalkan pesantren berarti meninggalkan umat dengan segala keterbelakangannya. Apa artinya maju sendiri, sedang umat tetap tertinggal? Bukankah itu sebuah dosa? Jauh sebelum modernisme Islam tiba, para ulama pengasuh pesantren berdiri sendiri-sendiri, belum ada ikatan formal struktural organisatoris. Hubungan antar ulama dilangsungkan dengan silaturrahmi tradisional mirip pertemuan-konferensi haul, imtihan, walimah, dan sebagainya. Bahkan kadang kala juga dipererat dengan besanan. Keinginan untuk mendirikan organisasi formal struktural bukan tidak ada, namun pertumbuhannya masih lambat. Hal itu dimulai dengan golongan-golongan pengajian keliling dengan aneka macam nama dan masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Lompatan penting yang dilakukan para ulama dalam berorganisasi waktu itu adalah dengan terwujudnya golongan diksusi Tashwirul Afkar di Surabaya yang dipelopori oleh KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur. Walaupun akhirnya dua pendiri kelompok diskusi tersebut berpencar, Kiai Mansur masuk Muhammadiyah, sedang Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Ulama. C. KEDUDUKAN DAN FUNGSI ULAMA MENURUT NU Dalam rangka melakukan ikhtiyar-ikhtiyarnya, NU membentuk organisasi yang memiliki struktur tertentu yang berfungsi sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi tercapainya tujuan yang telah ditentukan, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat kemasyarakatan. Karena intinya NU yakni jam’iyyah diniyyah yang membawa faham keagamaan, maka ulama selaku mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah selalu ditempatkan selaku pengurus, pengendali, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi. Untuk melaksanakan aktivitas-kegiatannya, NU menempatkan tenaga yang sesuai dengan bidangnya untuk mengatasi. Berikut yaitu di antara tugas para ulama33: 1. Bidang Agama Ulama selaku pewaris para Nabi dan sebagai pemimpin umat mempunyai tugas yang sangat penting ialah memperjuangkan dan menyebarkan syaraiat Islam. Ulama yakni seorang yang memiliki wawasan yang mendalam dalam duduk perkara agama dan problem sosial kemasyarakatan yang dibuktikan dengan kepribadian yang sangat agamis. Oleh alasannya adalah itulah, ulama menjadi tauladan dalam kehidupan bermasyarakat oleh siapapun. Ulama dianggap juga sebagai penjaga ilmu Allah. Jika Allah berkehendak mencabut ilmunya dari tampang bumi, maka Dia akan mencabut ulama. Oleh karena itulah, kadang kala ulama dijadikan barometer dalam tata kehidupan bermasyarakat. Ia ialah kunci pembuka pengertian keagamaan dalam masyarakat. Jika ulama telah keluar dari kepribadiannya selaku ulama, maka itu memiliki arti ilmu Allah sudah tercerabut dari paras bumi sehingga banyak kezaliman di mana-mana. 2. Bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Ulama walaupun pada awalnya ialah pemimpin keagamaan, namun dalam prakteknya ialah pemimpin penduduk dalam menghadapi setiap bahaya yang mengancam. Ulama adalah pemimpin perlawanan dalam melawan penjajah yang menindas rakyat. Ulama yaitu guru bagi para warga negara dalam berjuang dan mengisi kemerdekaan. Ulama yakni tulang punggung negara dan bangsa Indonesia. Oleh alasannya adalah itulah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ulama memiliki peran yang sungguh penting dalam menjaga negara kesatuan Republik Indonesia. 3. Bidang Pembangunan Ekonomi Di bidang ekonomi, ulama tidak ketinggalan. Ulama dengan fikih muamalahnya mampu mempelopori umat dalam mempraktekkan nilai-nilai Islam dalam jual beli. Ulama menunjukkan acuan usaha dan perdagangan melalui wirausaha dan koperasi yang ialah soko guru perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya KOPONTREN (Koperasi Pondok Pesantren) yang tersebar di seluruh Indonesia. 4. Bidang Hukum dan Pemerintahan Ulama banyak memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perumusan perundangan-usul yang diberlakukan di NKRI. Walaupun masih banyak undang-undang di Indonesia yang merupakan warisan Belanda. 5. Bidang Pendidikan Ulama yakni penjaga ilmu. Oleh alasannya itu dalam bidang pendidikan peran ulama sangatlah sentral. Setiap pesantren pasti terdapat ulama yang mengajarkan ilmu yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Karena tugas ulama yang besar inilah dalam struktur PBNU para ulama atau kyai diposisikan mengisi posisi Syuriyah. RINGKASAN NU dibentuk sebagai wadah jamaah yang tidak baiklah dengan kebijakan kelompok Islam Wahabi yang berkuasa di  Arab  Saudi  periode itu. NU sebagai jam’iyyah (organisasi) yang berbasis para kyai dan santri di pesantren-pesantren (yang juga merupakan forum pendidikan tertua di nusantara). NU berperan aktif dalam perjuangan melawan penjajah dan terus berbenah dalam pembangunan NKRI serta berbagi keilmuan keislaman. LATIHAN SOAL Soal Uraian: 1. Jelaskan hubungan NU dengan ulama-ulama pondok pesantren! 2. Jelaskan latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama! 3. Jelaskan fungsi dan tugas ulama menurut Nahdlatul Ulama!
Sumber http://lets-sekolah.blogspot.com


EmoticonEmoticon