Selasa, 24 November 2020

Perilaku Nahdlotul Ulama

A. PERILAKU KEAGAMAAN Agama Islam bersumber dari wahyu Allah, Alqur’an, yang disampaikan  kepada Rasulullah Muhammad untuk diteruskan kepada umat manusia, demi kebahagiaan hidup di dunia dan darul baka. Sebelum Rasulullah wafat, Islam sudah dinyatakan oleh Allah . Sebagai agama yang sempurna sebagaimana firman-Nya; Artinya: “Pada hari ini sudah Kusempurnakan untuk kau agamamu, dan sudah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa alasannya adalah kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah [4]: 3). Islam yang telah tepat sebagaimana dimaksudkan di atas, sesunggunnya sama juga dengan yang dinyatakan oleh rumusan Nabi dikala menandakan Ahlussunnah wal Jamaah. Artinya: “Apa yang ada padaku bersama dengan para saahabatku.” Islam yang tepat identik dengan Alqur’an dan hadis sebagai- mana sabda Rasulullah : Artinya: “Saya tinggalkan (wariskan bagimu dua hal yang bila kau selalu berpegang teguh kepadanya maka kau tidak akan kehilangan arah selamanya, ialah Kalamullah (Alqur’an) dan Sunnah Rasul.” Kesempurnaan Islam tidak berarti bahwa segala hal diterangkan secara jelas dan ketat (kaku), tetapi justru kesempurnaan Islam itu tercermin dari dua cara tunjangan anutan, ada yang secara terperinci dan ada yang cuma diterangkan prinsip-prinsipnya saja dan mesti dikembangkan oleh umat Islam sendiri. Dengan demikian, maka Islam akan selalu berkaitan dengan pertumbuhan zaman. Dengan demikian, Islam yang telah disempurnakan pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya adalah Islam yang sungguh-sungguh sempuna, kriteria dan baku yang mesti dipegang sepanjang periode. Islam yang kriteria, baku, harus dikembangkan secara terkendali, semoga kemurnian dan kelurusannya dapat menjawab problem baru yang senantiasa timbul sepanjang zaman. Demikian juga, Islam yaitu agama pembawa rahmat bagi seluruh semesta alam. Islam tidak hanya selaku rahmat bagi pengikutnya, akan tetapi bagi seluruh manusia bahkan kepada semua binatang, tetumbuhan, dan seluruh isi alam semesta. Dari sinilah, maka Islam yang dikembangkan oleh Aswaja yaitu Islam yang hening, Islam yang toleran, Islam yang ramah kepada apa saja dan siapa pun. Jika ada umat Islam yang mengaku mengikuti paham Aswaja, akan namun senang melaksanakan kebencian, permusuhan, kekerasan, dan apapun yang berlawanan dengan Islam sebagai agama pembawa rahmat, maka dengan sendirinya telah keluar dari paham Aswaja. Dari sinilah, dalam bidang keagamaan Aswaja mengembangkan perilaku sebagai berikut:12 a. Sikap Tawasuth dan I’tidal Sikap tengah yang berintikan terhadap prinsip hidup yang menjunjung tinggi kewajiban berlaku adil dan lurus di tengah- tengah kehidupan bareng . Nahdlatul Ulama dengan perilaku dasar ini akan senantiasa menjadi golongan panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan senantiasa bersifat membangun serta menyingkir dari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharuf (ekstrim). b. Sikap Tasamuh Sikap toleran terhadap perbedaan persepsi baik dalam problem keagamaan, utamanya hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi persoalan khilafiyah, serta dalam problem kemasya- rakatan dan kebudayaan. c. Sikap Tawazun Sikap sebanding dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah terhadap Allah I, khidmah terhadap sesama manusia, serta terhadap lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan kala lalu, kurun sekarang, dan periode mendatang. d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berkhasiat dan berfaedah bagi kehidupan beragama; serta menolak dan menangkal semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. Inilah sikap-sikap keagamaan yang dianut oleh NU yang dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar-dasar inilah, maka sikap keagamaan warga NU sungguh mementingkan kedamaian, keselarasan, dan keselarasan di dalam masyarakat. Namun, sebelum mendamaikan masyarakat, maka dia harus bisa mendamaikan dirinya terlebih dulu. Mendamaikan hatinya dari segala kebencian, kedengkian, permusuhan, dan sikap-perilaku yang tidak seharusnya dilaksanakan. Setelah mendamaikan dalam dirinya, warga NU mesti berdamai dengan Allah dengan menghamba terhadap- Nya, dengan sesama manusia dengan hal-hal yang berfaedah bagi semuanya, dan dengan lingkungannya. Warga NU selalu hening di hati dan damai di bumi. Dengan berdamai dan mendamaikan seluruh isi bumi, maka seluruh isi langitpun akan berdamai dan mendamaikan seluruh isi bumi. Oleh alasannya adalah itu warga NU di mana saja dan kapan saja mesti mampu memperlihatkan rahmat kepada apa saja dan siapa pun. Dengan kata lain, warga NU mesti bisa memayu hayuning bawana atau rahmatan lil ‘alamin, selaku sikap keagamaannya. B. PERILAKU AKIDAH Jam’iyyah Nahdlatul Ulama selaku penganut Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah sepanjang sejarahnya berusaha melestarikan, membela, dan mengembangkan Islam yang beraliran Ahlussunnah wal Jamaah. Golongan Ahlussunnah wal Jamaah ialah kaum yang menganut i’tiqad dan amaliyah Nabi Muhammad . dan para sahabatnya. I’tiqad dan amaliah tersebut termaktub dalam Alqur’an dan Hadis secara terpisah-pisah, belum tersusun secara rapi dan terstruktur, yang lalu dihimpun dan dirumuskan oleh seorang ulama besar Syeikh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H). Hasil rumusan itu diwujudkan berbentukkitab tauhid yang dijadikan anutan bagi kaum Ahlussunnah wal Jamaah. Karena itu kaum Ahlussunnah wal Jamaah disebut juga kaum “Asy’ariyah” yang dikaitkan dengan nama tokohnya tersebut. Menurut rumusan Imam Al-Asy’ari dalam bidang aqidah mencakup enam masalah yang lebih diketahui dengan rukun keyakinan, adalah: Iman kepada Allah, Malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, Hari Akhir, dan dogma kepada Qadla dan Qadar Allah. Secara lebih rinci rumusan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah yang perlu diketahui sebagai berikut:13 1. Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna sebagaimana diterangkan dalam Alqur’an dan Hadis, yakni sifat wajib yang jumlahnya 20, sifat tidak mungkin jumlahnya 20, dan sifat jaiz ada 1. Yang dimaksud sifat wajib bagi Allah yaitu sifat-sifat yang harus ada pada zat Allah .  Sedangkan  sifat  mustahil  bagi  Allah ialah sifat-sifat yang mustahil ada pada zat Allah. Sifat  jaiz bagi Allah, artinya Allah itu boleh melakukan sesuatu atau meninggalkannya. 2. Beriman terhadap hal-hal yang ghaib sebagaimana diterangkan dalam nash Alqur’an dan Hadis. Misalnya, azab kubur, nikmat kubur, mahsyar, mizan, shirath, ba’ats, surga, neraka, arasy, lauh mahfudh, dan yang lain. Para andal kubur mampu menemukan manfaat atas amal shaleh yang dihadiahkan kepadanya, mirip bacaan Alqur’an, zikir, sedekah dan lainnya. Ziarah kubur orang mukmin sunnah hukumnya dan mendapat pahala jikalau dilakukannya. 3. Berdo’a terhadap Allah secara langsung atau dengan wasilah/ bertawassul (mediator) sunah hukumnya dan diberi pahala jikalau dilakukan. 4. Nabi Muhammad  memberi syafa’at  terhadap orang beriman   kelak di alam darul baka. 5. Orang beriman yang berdosa dan mati sebelum bertaubat, nasibnya di akhirat terserah Allah. Jika berkenan diampuni sebab rahmat-Nya, atau memperoleh syafaat Nabi Muhammad , atau disiksa alasannya adalah keadilannya namun jika disiksa tidak bersifat kekal. 6. Anak-anak orang yang kafir jikalau mati dalam usia belum baligh dimasukkan dalam nirwana. 7. Rejeki, jodoh, akhir hayat, seluruhnya telah ditetapkan pada zaman azali. Perbuatan manusia telah ditakdirkan Allah  .  akan  namun  insan wajib berikhtiar untuk menentukan amalnya yang baik. 8. Masjid di seluruh dunia derajatnya sama, kecuali tiga masjid derajatnya melebihi dari yang lainnya, adalah Masjid al-Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Aqsa di Palestina. 9. Berziarah ke makam para nabi, wali Allah, orang-orang shaleh, kedua orang bau tanah dan saudara, hukumnya disunnahkan. 10. Beriman sepenuhnya bahwa berobat dengan cara membaca doa- doa dan bacaan Alqur’an dapat berfaedah sebagaimana dilakukan pada abad Nabi. 11. Bertawasul dan istighasah terhadap nabi atau para wali Allah hukumnya boleh dan sunah. 12. Beriman sepenuhnya terhadap mukjizat para nabi, keramat para wali, maunah orang-orang shaleh, dan istidraj bagi orang-orang ahli maksiat (durhaka). 13. Allah ialah satu, baik dalam zat-Nya, sifat-Nya maupun perbuatan-Nya. 14. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah percaya bahwa Nabi Muhammad ialah makhluk yang paling mulia, kemudian para rasul dan orang-orang yang beriman. 15. Beriman sepenuhnya pada berkah Allah yang ditaruh pada tempat dan benda-benda tertentu seperti, makam Ibrahim, Babussalam, Hijir Ismail, Sumur Zam-zam, Raudhah dan air bekas wudu’ Nabi, Jubah Nabi, rambut Nabi, serta ayat-ayat Alqur’an. 16. Surga dan neraka serta penduduknya akan baka selama lamanya. Allah mengekalkan biar manusia merasakan kenikmatan dari hasil amalnya dan bagi yang berdosa mampu merasakan siksa selamanya. 17. Bid’ah ada dua macam, yakni bid’ah hasanah (sesuatu yang tidak ada pada masa nabi namun dipandang baik) dan bid’ah “dlolalah” (sesuatu yang tidak ada pada kurun nabi dan dianggap sesat). 18. Orang mukmin mampu menjadi kafir kembali (riddah) kalau melakukan hal-hal berikut ini: a. Ragu-ragu terhadap adanya Allah, kerasulan Nabi Muhammad, wahyu Alqur’an, hari Kiamat dan hari alam baka, serta alam ghaib yang lain. b. Berkeyakinan bahwa Allah tidak mempunyai sifat-sifat yang tepat sepeti ’ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam, dan yang lain. c. Beritikad bahwa Allah disamakan mirip manusia adalah bermata, bertelinga, bermulut, bertangan, dan sebagainya. d. Menghalalkan hal-hal yang oleh syariat Islam diharamkan dengan jelas. Sebaliknya, mengharamkan hal-hal yang disyariat- kan Islam sebagai halal. e. Mengingkari sebuah bentuk amaliah ibadah yang telah diwajibkan oleh syari’ah Islam. f. Mengingkari Alqur’an, meskipun hanya sebagian kecil dari ayat-ayatnya. g. Mengingkari keutamaan sahabat nabi yang empat (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib ). h. Mengitikadkan akan ada rasul setelah Nabi Muhammad . Demikian di antara prinsip-prinsip keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah dalam masalah tauhid yang mesti diyakini dengan benar. Yang disebutkan di atas merupakan bagian kecil dari pokok-pokok kepercayaan yang terhimpun dari kitab-kitab tauhid. Namun yang tercantum di atas, kiranya mampu menjadi bekal dasar bagi kita dalam taraf berguru untuk melangkah lebih jauh dalam mempelajari anutan Ahlussunnah wal Jamaah. C. PERILAKU DI BIDANG SYARI’AH Dalam bidang syariah (fiqih, aturan Islam) kaum Ahlussunnah wal Jamaah berpedoman pada empat imam madzhab, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Namun Nahdlatul Ulama selaku organisasi yang berhaluan Islam Ahlussunnah wal Jamaah di kalangan pengikutnya sebagian besar mengikuti madzhab Syafi’i. Beberapa hal yang membedakan golongan Ahlussunnah wal Jamaah dengan kelompok umat Islam yang lain, yakni.14 1. Berpegang teguh pada nash Alqur’an dan Hadis. 2. Memuliakan Ahlul Bait dan para sahabatnya. 3. Berpegang teguh pada amaliah para teman Nabi Muhammad khususnya para Khulafaur Rasyidun. 4. Mengambil pendapat ulama yang terbanyak (jumhur ulama) bila terjadi perbedaan pendapat di golongan ulama. 5. Berpegang teguh pada ijma’ ulama kepada hal-hal yang telah menjadi akad para ulama. 6. Mengikuti usulan Imam Mujtahidin yang mu’tamad jikalau tidak bisa berijtihad. Sedangkan hal yang menjadi iktikad Ahlussunnah Wal Jamaah dalam aturan syariah yang perlu dimengerti, di antaranya yakni. 1. Membaca shalawat mempunyai arti menjalankan perintah Allah dan rasul- Nya. Keutamaan membaca shalawat dalam berdoa menimbulkan terkabulnya doa tersebut jikalau didahului dengan bacaan shalawat. 2. Membaca shalawat di manapun kita berada akan hingga pada Nabi Muhammad dan mendapatkan pahala dari bacaannya. 3. Menyentuh dan menjinjing Alqur’an harus suci dari hadats kecil dan hadats besar. 4. Menyentuh wanita yang bukan mahram hukumnya membatalkan wudlu. 5. Hewan anjing dan babi adalah najis dan haram dikonsumsi. 6. Berdoa dengan bertawasul dapat dibenarkan menurut Alqur’an dan Hadis. 7. Mengawali shalat dengan membaca “Ushalli” disunnahkan. 8. Membaca “Sayyidina” dikala menyebut nama Nabi Muhammad disunnahkan. 9. Membaca “al-Barzanji” dan manakib Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani   disunnahkan. 10. Membaca tahlil, shalawat, surat Yasin, disunnahkan. 11. membaca doa qunut pada shalat subuh disunnahkan. 12. Membaca Alqur’an di kuburan dibolehkan dan disunnahkan. 13. Membaca surat al-Fatihah, dimulai dengan “Bismillahirrahmanir- rahim” sebagai ayat yang pertama. 14. Shalat Idul Fitri dan Idul Adha lebih utama dijalankan di masjid, boleh dikerjakan di tanah lapang bila semua masjid telah tidak menampung jamaah lagi. 15. Menghadiahkan pahala doa atau amal lainnya kepada arwah orang mati yang beriman terperinci akan hingga terhadap yang dituju. 16. Setiap membaca ayat Alqur’an, kecuali surat at-Taubah disunnahkan membaca “Basmallah” meskipun di tengah-tengah ayat. 17. Mengumandangkan adzan pada hari Jum’at dua kali, disunnahkan. 18. Shalat Fardhu yang tertinggal atau lupa tidak dijalankan, wajib diqadha. 19. Mengerjakan shalat sunnah qabliyah dan sunnah ba’diyah pada shalat Jum’at disunnahkan menurut hadis riwayat Imam Muslim. 20. Menetapkan permulaan Ramadhan mesti menggunakan ru’yat (melihat bulan secara pribadi). 21. Mentalqin jenazah yang telah dikubur boleh dan disunnahkan. 22. Berdoa dengan mengangkat kedua tangan disunnahkan 23. Memakan kuliner pada waktu ta’ziah boleh selama tidak akrab dengan mayat. 24. Ziarah kubur hukumnya sunnah bila bermaksud untuk mengambil pelajaran dan mengingat darul baka serta untuk mendoakan orang Islam. 25. Adanya lezat kubur dan siksa kubur adalah benar berdasarkan keterangan nash Alqur’an dan Hadis. Demikian uraian tentang anutan Ahlussunnah wal Jamaah dalam bidang syariah, meskipun sungguh singkat semoga dapat dijadikan dasar untuk mengetahui wacana madzhab dengan segala aspeknya. D. PERILAKU DI BIDANG TASAWUF Kaum Ahlussunnah wal Jamaah dalam bidang budbahasa atau tasawuf mengikuti dua pedoman tasawuf yang besar pengaruhnya,  adalah Abu Qasim al-Junaidi dan Imam al-Ghazali. Dalam kitabnya Kimiya’ al-Sa’adah Imam al-Ghazali berkata: “Bahwa tujuan memperbaiki budbahasa itu adalah untuk membersihkan hati dan kotoran hawa nafsu dan amarah, sehingga hati menjadi suci bagaikan cermin yang mampu mendapatkan nur cahaya Tuhan”. Hidup dengan kerohanian (sufi) dalam Islam dimulai dari peri- kehidupan Nabi Muhammad dan teman-sahabatnya yang utama serta kehidupan para nabi yang  terdahulu.  Nabi  Muhammad pernah bersabda: “Syari’at itu perkataanku, tarekat itu perbuatanku dan hakikat itu ialah kelakuanku”. Dalam ilmu tasawuf diterangkan bahwa arti tarekat itu adalah jalan atau petunjuk dalam melaksanakan sebuah ibadah sesuai dengan pedoman yang dicontohkan Nabi Muhammad dan dilaksanakan para sahabatnya, tabi’in dan tabi’it tabi’in, para ulama, hingga hingga terhadap kita. Kaprikornus orang yang bertasawuf adalah orang yang menyucikan dirinya lahir dan batin dalam sebuah pendidikan etika (kebijaksanaan pekerti) dengan menempuh jalan (tarekat) atas dasar tiga tingkat, yang berdasarkan imam Abu Al-Qasim al-Junaidi diketahui dengan: takhalli, tahalli dan tajalli, adalah:15 1. Takhalli Yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela baik lahir maupun batin, seperti hasud, tamak, takabur, bakhil, khianat, dusta, cinta harta, cinta dunia, riya’, pemarah (ghadab), dan lainnya. 2. Tahalli Yaitu mengisi dan membiasakan diri dengan sifat-sifat terpuji seperti takwa, lapang dada, tawakal, sabar, syukur, khusuk, taubat, amanah, ridla, mahabbah (perasaan cinta Allah semata), dan yang lain. 3. Tajjalli Yaitu mengamalkan sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah seperti: shalat sunah, dzikir, puasa sunah, khalwat (menyendiri untuk ibadah kepada Allah), dan yang lain. Pada biasanya kaum sufi mewajibkan dirinya untuk mengamalkan dzikir kepada Allah Akibatnya hati mereka senantiasa tentram, dan Allah memberi jaminan ketenteraman hati terhadap orang-orang yang senantiasa ingat terhadap Allah Kebiasaan hidup para sufi tersebut bergotong-royong mengikuti perilaku hidup Nabi Muhammad yang penuhdengan nilai-nilai ibadah dan disertai pula oleh para sahabat-sahabatnya. Adapun perilaku  Nabi  Muhammad  sehari-hari yang diikuti   oleh sahabatnya itulah yang menjadi faktor-aspek tasawuf, antara lain: 1. Hidup zuhud (tidak cinta keduniawian secara berlebihan) 2. Hidup qanaah (merasa cukup dengan apa yang ada) 3. Hidup taat (melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya) 4. Hidup istiqamah (konsekuen, kontinyu, dan tetap beribadah) 5. Hidup mahabbah (sangat cinta terhadap Allah  dan rasul- Nya lebih dari pada menyayangi dirinya sendiri) 6. Hidup lapang dada (bersedia menjadi penebus apa saja untuk Allah demi mencari ridla-Nya) 7. Hidup ubudiah (mengabdikan diri hanya kepada Allah ) Jadi, tujuan ajaran tasawuf adalah membangun etika dan budi pekerti yang bagus menurut kasih sayang dan cinta terhadap Allah. Oleh karena itu, fatwa tasawuf sungguh memprioritaskan adat dan nilai dalam berafiliasi sesama manusia utamanya dalam berafiliasi dengan Allah . Dengan demikian faktor-aspek tasawuf memiliki peranan penting dalam memperkuat segi-sisi kepercayaan dan dalam memperdalam rasa ketuhanan untuk beribadah. Di samping itu juga merupakan daya pendorong yang kuat dalam melakukan syariat Islam. Dalam hal   ini Imam Malik pernah berkata: ”Barang siapa bersyariah saja tanpa tasawuf niscaya ia akan berlaku fasik (tidak bermoral) dan barang siapa yang bertasawuf saja tanpa bersyariah niscaya dia berlaku zindik (penyeleweng agama). Dan barang siapa melaksanakan kedua-duanya maka itulah golongan Islam yang hakiki”. Untuk memperjelas kembali, seorang ulama tasawuf Junaid al- Baghdadi dalam menerangkan tujuan sufi, menyampaikan: “Kami tidak mengambil tasawuf ini dari asumsi dan usulan orang tetapi diambil dari menahan lapar dan meninggalkan kecintaan terhadap dunia, meninggalkan kebiasaan kami sehari-hari dan mengikuti segala yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala yang tidak boleh-Nya”. Mengenai hal ini Sayyed Hussein Nasr dalam bukunya Islam antara Cita dan Fakta mengatakan bahwa tasawuf Islam sudah muncul semenjak timbulnya agama Islam sendiri. Tumbuh dari dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri ialah Nabi Muhammad . Demikian pemikiran tasawuf yang dibenarkan menurut anutan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai yang sudah diamalkan oleh salafush shalihin (orang-orang terdahulu yang shaleh), baik para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, para ulama, dan pengikut-pengikutnya. E. PERILAKU KEMASYARAKATAN DAN KEEKONOMIAN16 Muktamar (dulu disebut congres) Nahdlatul Ulama ke-13, tahun 1935 antara lain memutuskan sebuah kesimpulan. Kesimpulan tersebut bahwa kendala utama yang menghalangi perkembangan umat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan menegakkan agama adalah alasannya kemiskinan dan kelemahan ekonomi. Maka muktamar mengamanatkan terhadap PBNU (dahulu namanya HBNO) untuk me- ngadakan gerakan penguatan ekonomi warga. Para pemimpin NU waktu itu menyimpulkan bahwa kekurangan ekonomi ini bermula dari lemahnya sumber Daya Manusia (SDM). Mereka lupa meneladani sikap Rasulullah sehingga kehilangan ketangguhan mental. Setelah diadakan pengkajian, disimpulkan ada beberapa prinsip aliran Islam yang perlu ditanamkan kepada warga NU semoga bermental kuat selaku modal perbaikan sosial ekonomi yang disebut dengan Mabadi’ Khairul Ummah, atau langkah awal membangun umat yang bagus. Di antara lima prinsip Mabadi’ Khairul Ummah yakni: 1. Al-Shidqu Sebagai salah satu sifat Rasulullah, al-Shidqu memiliki arti jujur, benar, keterbukaan, tidak bohong, dan satunya hati, kata, dan perbutan. Setiap warga nahdhliyyin, mula-mula dituntut jujur kepada diri sendiri, kemudian terhadap orang lain. Dalam mu’amalah dan bertransaksi harus mengikuti sifat alshidqu ini sehingga lawan dan kawan kerjanya tidak cemas tertipu. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah dikala melakukan bisnis Sayyidatina Khadijah. Dari perilaku inilah, ia mendapatkan kesuksesan yang besar. Padahal itu memang menjadi perilaku Rasulullah sepanjang hayatnya. Warga NU sebagai pengikut Nabi Muhammad mesti mengikuti jejaknya. Bila melalaikan dan meninggalkannya, niscaya akan merugi dan menderita kegagalan. Sikap al-shidqu ini terbukti juga bagian penting dari kunci sukses acara perekonomian modern. 2. Al-Amanah wa al-wafa’ bi al-‘ahdi Dapat  diandalkan,  memegang  tanggung  jawab,  dan  menyanggupi   akad. Amanah juga salah satu sifat Rasul. Ini merupakan hal penting bagi kehidupan seseorang dalam pergaulan memenuhi keperluan hidup. Sebelum diangkat menjadi rasul Nabi Muhammad mendapat gelar al-Amin dari masyarakat alasannya diakui sebagai orang yang mampu diserahi tanggungjawab. Syarat warga NU supaya sukses dalam menjalankan kehidupan haruslah terpercaya dan menepati komitmen serta disiplin menyanggupi agenda. Bila orang suka khianat dan ingkar akad, niscaya tidak akan diper- caya baik oleh kawan kerja ataupun hubungan. Pelanggan akan memutus relasi dan kawan kerja akan menjauh. Al-amanah dan wafa’ bi al-‘ahdi memang merupakan bagian penting dari keberhasilan perekonomian. Itulah sikap profesional terbaru yang berhasil pada kala sekarang. 3. Al-Adalah Berarti perilaku adil, proporsional, obyektif, dan mengutamakan kebenaran. Setiap warga nahdliyyin mesti memegang kebenaran obejektif dalam pergaulan untuk membuatkan kehidupan. Orang yang bersikap adil meski kepada diri sendiri akan dipandang orang lain sebagai kawasan berlindung dan tidak menjadi bahaya. Warga nahdliyyin yang bisa menjadi pengayom bagi penduduk sekaligus mempermudah dan membuka jalan kehidupannya. Sikap adil juga ialah ciri utama penganut sunni-nahdliyyin dalam kehidupan bermasyarakat. Dan kalau ini betul-betul bisa menjadi karakter warga nahdliyyin, bermakna wujud dari prinsip risalah kenabian rahmatan lil ‘alamin yang berarti bukan cuma berfaedah bagi diri sendiri atau kelompok, akan tetapi penebar cinta kasih kepada semua orang. Ini penting bagi suksesnya seorang dalam mengarungi kehidupan. 4. Ta’awun Artinya tolong menolong atau saling membantu antarsesama dalam kehidupan. Ini sesuai dengan jati diri manusia selaku makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya koordinasi dengan makhluk lainnya: sesama manusia, dengan binatang, maupun dengan alam sekitar. Setiap warga nahdliyyin mesti menyadari posisinya di tengah masyarakat harus mampu menempatkan diri, bersedia membantu dan butuh pertolongan. Dalam agama islam, tolong menolong ialah prinsip bermu’amalah. Karena itu dalam jual beli contohnya, kedua belah pihak mesti menerima keuntungan, dilarang ada satu pihak yang dirugikan. Sebab dalam prinsip ta’awun; pembeli menginginkan barang sedang penjual memginginkan duit. Bila setiap bentuk muamalah menyadari prinsip ini, maka muamalah akan terus meningkat dan lestari. Jalan perekonomian niscaya akan terus tanpa kendala. Bila prinsip ta’awun ini ditinggalkan,  maka akan merugikan diri sendiri dan dalam bermuamalah akan mengalami banyak hambatan. 5. Al-Istiqamah Al-istiqamah yakni sikap mantap, tegak, konsisten, dan tidak goyah oleh godaan yang menimbulkan menyimpang dari hukum aturan dan perundangan. Di dalam Alqur’an dijanjikan kepada orang yang beriman dan beristiqamah, akan mendapatkan kecerahan hidup, terhindar dari panik dan kesulitan, dan ujungnya akan menerima kebahagiaan. Untuk mendapatkan berhasil hidup warga nahdliyyin juga mesti memegang rancangan istiqamah, tahan godaan, dan tidak tergiur melakukan penyimpangan yang cuma prospektif kenikmatan sesaat. Sikap konsisten akan membuat kehidupan menjadi damai yang mampu menumbuhkan ide, inisiasi, dan kreasi yang bisa mengatasi segala tantangan dan rintangan. Istiqamah akan menghindarkan dari kesulitan hidup. Oleh alasannya adalah itulah, dalam keputusan muktamar Nahdlatul Ulama ke 27 di Situbondo disebutkan sikap warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku individual maupun organisasi yakni:17 a. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma anutan Islam. b. Mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan langsung. c. Menjunjung tinggi sifat keikhasan dan berkhidmah serta berjuang. d. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad), serta kasih mencintai. e. Meluhurkan kemuliaan akhlak (al-akhlaq al karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap, dan bertindak. f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) terhadap bangsa dan negara. g. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja, dan prestasi selaku bab dari ibadah kepada Allah . h. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu wawasan serta ahli-ahlinya. i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang menenteng kemaslahatan bagi manusia. j. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam perjuangan mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakatnya. k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan ber- bangsa dan bernegara. F. PERILAKU DI BIDANG POLITIK18 Politik yakni satu makna dengan berjuta makna, mulai arti yang paling luas sampai pada arti yang paling sempit. Mulai arti yang paling umum sampai dengan arti yang paling khusus. Semuanya bekerjasama dengan kenegaraan, kekuasaan, dan pemerintahan. Seorang petani mengeluarkan uang pajak, mempunyai arti dia mendukung kelestarian pemerintahan. Maka dia bisa dianggap melakaukan perbuatan politik. Sebaliknya juga seorang yang tidak mau mengeluarkan uang pajak, maka juga melakukan tindakan politik. Politik umumnya diartikan selaku upaya mengikutsertakan diri atau sobat masuk dalam kekuasaan, ikut mengambil keputusan dalam pemerintahan/ kenegaraan, menjadi anggota legislatif, eksekutif, yudikatif, tindakan-perbuatan yang umumnya dilakukan oleh para politikus meskipun tidak hanya parta politik yang mampu melaksanakan politik. Pada dasarnya, siapa saja yang hidup dalam sebuah negara yakni makhluk politik, tergolong warga nahdliyyin. Partai NU tahun 1955 Nahdlatul Ulama memang dilahirkan tidak sebagai partai politik, namun merupakan kekuatan politik yang berpotensi besar, alasannya anggotanya yang puluhan juta jumlahnya. Oleh alasannya adalah itu, semua partai politik selalu ingin mensugesti pimpinan Nahdlatul Ulama untuk mendapatlkan kekuasaan politik. Dalam keadaan mirip ini Nahdlatul Ulama mampu memainkan politiknya untuk mensugesti partai-partai politik. Nahdlatul Ulama bermain politik pada tingkat tinggi, tidak hanya sekedar mencari ‘kursi-dingklik politik’ tetapi bagaimana para politisi dalam kursi-kursi politik tersebut dapat diarahkan sesuai dengan garis- garis politik Nahdlatul Ulama. Poltik yang dimainkan oleh Nahdlatul Ulama adalah politik kebangsaan dalam arti untuk kepentingan semua anak bangsa, tidak cuma untuk kepentingan sebuah golongan atau golongan. Sebagai jam’iyyah yang bukan partai politik tetapi ialah kekuatan politik yang sangat besar, adakalanya Nahdlatul Ulama mengalami kesusahan besar dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Dalam sejarahnya Nahdlatul Ulama mempunyai pengalaman tantang cara-cara menyalurkan aspirasi poltiknya. a. Pada zaman penjajahan Belanda, Nahdlatul Ulama menyem- bunyaikan tindakan politiknya kecuali dalam hal-hal besar, mirip: 1) perilaku anti penjajahan, merencanakan umat/ rakyat untuk kemerdekaan, disembunyaikannya di pesantren-pesantren. 2) menuntut Indonesia berparlemen bareng MIAI (Majlis Islam A’la Indonesaia, adonan semua organisasi Islam se- Indonesia) dan GAPI (adonan politik indonesia) biar pemerintah Hindia Belanda didampingi oleh dewan per- wakilan rakyat Indonesia. 3) dan lain-lain. b. Pada zaman pemerintahan Jepang yang membebaskan semua organisasi rakyat, para tokoh Nahdlatul Ulama bersama-sama dengan tokoh lain, menawarkan sikap koordinasi dengan Jepang, biar mampu terus berhubungan dengan rakyat dan merencanakan merebut kemerdekaan. c. Pada zaman revolusi fisik, Nahdlatul Ulama pundak membahu dengan semua lapisan penduduk Indonesia dalam memper- tahankan dan mengsisi kemerdekaan dengan menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai Masyumi. d. Sesudah revolusi fisik simpulan, Nahdlatul Ulama berdikari sebagai parta Nahdlatul Ulama dan ternyata sukses menempatkan diri selaku kekuatan politik yang tangguh di tingkatan nasional. e. Pada zaman orde baru yang memaksa partai-partai bergabung menjadi dua partai dan satu Golkar, maka Nahdlatul Ulama memfungsikan fungsi politiknya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai tahun 1984, hingga Nahdlatul Ulama menyatakan tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan apapun. f. Ketika tiba zaman reformasi, Nahdlatul Ulama memper- silahkan warganya mendirinya partai. Langkah-langkah di atas ialah cara-cara yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada sebuah keadaan dan suasana tertentu untuk kepentingan usaha Nahdlatul Ulama sendiri, bukan sebuah yang qat’i, dan bukan suatu yang abadi yang tidak mampu berubah sepanjang era tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan perjuangan Nahdlatul Ulama sendiri. Yang pokok bagi Nahdlatul Ulama yaitu jam’iyyah yang mampu berdiri diatas kaki sendiri, tidak menjadi bagian dari oraganisasi manapun baik organisasi politik ataupun organisasi kemasyarakatan. Orang mengkritik Nahdlatul Ulama saat Nahdlatul Ulama bersahabat dengan sebuah partai, namun orang diam seribu bahasa saat Nahdlatul Ulama erat dengan organisasi sosial kemasayarakatan. Dekat atau tidak dekatnya tergantung kepada kepentingan Nahdlatul Ulama sendiri. Inilah intisari pemahaman naskah Khittah NU, butir 8 alenia 6 yang berbunyi, “Nahdlatul Ulama selaku jam’iyyah secara organisasi tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga.” Kalimat di atas diteruskan dengan kalimat yang selajutnya; “Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang memiliki hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang. Di dalam hal ini, warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak- hak politiknya mesti dilakukan secara bertanggungjawab dan berakhlakul karimi, sehingga dengan demikian mampu ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat aturan, dan bisa berbagi prosedur musyawrah dan mufakat dalam memecahkan permaslahan yang dihadapi bareng .” Lebih dari itu, Nahdlatul Ulama memperlihatkan “Pedoman Berpolitik bagi Warga Nahdlatul Ulama” keputusan muktamar di Krapyak Yogyakarta sebagai berikut: 1. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama mengandung arti keter- libatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Politik bagi Nahdlatul Ulama yaitu politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang selalu menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bareng , yaitu terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera lahir batin dan dikerjakan selaku amal ibadah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. 3. Politik bagi warga Nahdlatul Ulama yaitu pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bareng . 4. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilaksanakan dengan budpekerti, adat, dan budaya berketuhanan yang maha esa, berperi- kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan dan kesaatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 5. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dikerjakan dengan kejujuran nurani dan akhlak agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta mampu membuatkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan duduk perkara bersama. 6. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dijalankan untuk memper- kuat konsensus-konsensus nasional dan dilakukan dengan adat karimah selaku pengamalan anutan Islam Ahlussunnah wal Jamaah. 7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dengan dalih apapun tidak boleh dilaksanakan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan adu domba persatuan. 8. Perbedaan persepsi di antara aspirasi-asoirasi politik warga Nahdlatul Ulama mesti tetap berjalan dalam situasi persaudaraan, tawadlu’, dan saling menghargai satu dengan yang lainnya, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama. 9. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasya-rakatan yang lebih mandiri dan mampu melakukan fungsinya sebagai sarana penduduk untuk berserikat, menyalurkan aspirasi dalam pembangunan. Salah satu problem yang paling penting bagi Nahdlatul Ulama    di bidang politik nasional adalah sikap kepada Pancasila dan dasar negara Republik Indonesia. Nahdlatul Ulama menerima pancasila selaku satu-satunya azas berbegara. Sikap dan pandangan Nahdlatul Ulama ini dapat dipahami lebih terang melalui “Deklarasi ihwal kekerabatan pancasila dengan Islam”, hasil keputusan muktamar ke-27 NU di Situbondo, sebagai berikut: 1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak digunakan untuk mengambil alih agama. 2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila lainnya merefleksikan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam ialah aqidah dan syari’ah, mencakup faktor relasi insan dengan Allah . dan relasi antarmanusia. 4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankajn syari’at agamanya. 5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama ber- kewajiban mengamankan pengertian yang benar perihal Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak. Nahdlatul Ulama memandang bahwa negara Republik Indonesaia yaitu hasil kesepakatan seluruh bangsa Indonesia, di mana kaum muslimin dan kaum nahdliyin terlibat dalam kesepakatan lewat pemimpin yang mewakilinya. Oleh jadinya nagara ini harus diper- tahankan kelestariannya. Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 yakni sudah tamat bagi Nahdlatul Ulama, dalam arti tidak usah mendirikan “negara lain” menggantikan negara ini. G. PERILAKU DI BIDANG BUDAYA19 Salah satu ciri yang paling dasar dari sikap warga NU yakni moderat (tawassut). Sikap ini tidak hanya bisa mempertahankan warga NU dari keterperosokan kepada sikap keagamaan yang ekstrim, tetapi mampu menyaksikan dan menilai fenomena kehidupan secara proposional. Kehidupan tidak bisa dipisahkan dari budaya. Itu alasannya adalah budaya ialah kreasi manusia untuk menyanggupi kebutuhan hidupnya dan memperbaiki mutu hidupnya. Karena itu, salah satu aksara dasar dari setiap budaya yakni pebubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan alasannya adalah diciptakan oleh insan, maka budaya juga bersifat beragama sebagaimana keanekaragaman insan. Menghadapi budaya dan tradisi, aliran Aswaja yang dikembangkan oleh NU mengacu pada salah satu kaidah fikih: Artinya: ”Mempertahankan kebaikan warisan era lalu dan mengkreasi hal gres yang lebih baik.” Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara berimbang dan proposional. Seseorang harus melakukan upaya penyelarasan bagian-unsur budaya yang dianggap menyimpang dari pokok anutan Islam. Hal ini penting ditekankan, alasannya sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan aliran Islam, tetapi di dalamnya menyimpan butir-butir kebaikan, menghadapi hal ini, sikap yang arif yang melahirkan perilaku yang aktual perlu dijalankan oleh warga NU sehingga budaya tetap lestari dan ajaran Islam tetap terjaga. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan yaitu tidak semua budaya buruk, banyak hal baik yang mampu diambil, sebab Islam senantiasa menekankan; ambillah nasihat dari mana saja asalnya. Artinya: “Apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak harus ditinggalkan seluruhnya.“ Contoh hal ini adalah syukuran atau kenduri yang ialah tradisi orang Jawa yang ada sejak datangnya agama Islam. Jika golongan lain menilai hal ini sebagai bid’ah, maka kaum Aswaja menilainya secara proporsional. Yaitu bahwa di dalam  syukuran  ada unsur-komponen kebaikan yang tidak berlawanan dengan fatwa Islam seperti membangun tali silaturahim, merekatkan solidaritas penduduk , menyebabkan fasilitas bersedekah, dan mendoakan orang yang meninggal dunia. Menjalin tali silaturahim sungguh direkomendasikan oleh Islam sebagaimana dalam hadis Qudsi: Artinya: “(Allah berfirman): Barang siapa yang menyambungmu (dengan  silaturahim),  maka  Aku  akan  menyambungnya, dan barangsiapa yang memutusmu (dengan memutus tali silaturahim), maka Aku akan memutusnya.” Demikian juga, bersedekah merupakan anutan Islam pokok. Jadi, syukuran atau kenduri dan sejenisnya merupakan “racikan” beberapa anutan Islam dengan “bumbu” budaya. Tentu saja hal ini yaitu sebuah sistem atau seni dakwah yang sama sekali tidak berlawanan dengan anutan Islam. Walaupun secara bentuk, hal ini belum pernah diterapkan oleh Nabi , akan namun secara anutan dan kandungannya adalah pernah dilaksanakan oleh Nabi Oleh sebab itulah, perilaku ini merefleksikan bagaimana kedahsyatan ulama terdahulu dalam membumikan fatwa Islam di tanah Jawa ini. Yang demikian ini pernah dilakukan oleh Walisongo. Kalau dilihat dari sejarah Islam, maka hal ini bekerjsama mengikuti apa yang pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad . Bagaimana ia mengadoptasi ritual pra Islam yang diadaptasi dengan fatwa Islam, mirip ibadah haji. Haji sebelumnya yaitu tradisi pra Islam yang kemudian disesuailkan dengan pemikiran Islam. Nabi tidak serta merta membuang tradisi pra Islam, akan tetapi menyesuaikannya dengan aliran Islam. Artinya, mana yang tepat berdasarkan Islam diabadikan, dan mana menyimpang, maka dihilangkan. Nabi tidak serta-merta mencampakkan semua tradisi pra Islam seperti haji, akan namun beliau merombaknya dengan pedoman Islam. Langkah inilah yang harus dipedomi oleh warga NU dan menjadi ciri perilaku keseharian mereka sebagaimana kaidah: Artinya: “Apa yang tidak mampu dicapai semuanya, tidak mesti lewati semuanya.“ Warga NU jangan serta-merta menolak budaya dengan meng- anggap bahwa semuanya yaitu syirik. Memang ada hal yang syirik dan ada yang tidak. Yang syirik dibuang dan diganti dengan yang islami dan yang bagus tetap dipertahankan. Kita  umpamakan  satu baju yang sobek, maka cukup dijahit mana yang sobek, tidak lantas dibuang seluruhnya. Jika meja kita rusak, maka mana yang  rusak yang diperbaiki, bukan lantas dibuang semuanya. Jika kita antipati kepada budaya, maka budaya-budaya yang ada di masyarakat  akan diambil alih oleh orang lain dan diklaim sebagai budaya mereka. Apakah tidak seharusnya umat Islam yang mengambil alih budaya tersebut dan menyesuaikannya dengan anutan Islam? Bukan- kah dengan demikian umat Islam semakin kaya  akan  budaya?  Untuk melihat bagaimana konsistensi Nahdlatul Ulama terhadap kebudayaan bangsa, lihatlah maklumat kebudayaan yang dibacakan oleh Sultan Saladin (artis senior), dalam “Diskusi Publik “Infotaintment: Kezaliman Era Baru?” di Pusat Gedung Film, JI. MT Haryono kav. 47-48 Jakarta Selatan. Maklumat Kebudayaan ini ditandatangani oleh semua penerima diskusi publik yang terdiri dari artis, wartawan, dan seniman, serta para pembicara: Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj (PBNU), Prof. DR. Abdul Hadi WM (budayawan), Hans Miller (Kabid Infotainment PWI Pusat), Effendi Ghazali (pakar komunikasi UI), dan Akhlis Suryapati (Ketua Seksi Film dan Budaya PWI DKI Jaya) di bawah ini:20 MAKLUMAT KEBUDAYAAN BANGSA Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis di segala bidang kehidupan, mulai dari krisis politik, ekonomi sampai krisis akhlak. Akibatnya bangsa ini kehilangan abjad dan identitasnya selaku sebuah bangsa. Melihat realita itu, maka dikala ini merupakan mementum sangat penting untuk menghidupkan kembali bangsa ini dengan melakukan character-building (pembentukan huruf). Dan ini merupakan bab dari perjuangan melakukan nation-building (pembangunan bangsa), sehingga menjadi bangsa yang maju dan beradab. Mengingat kenyataan itu, kami dari segenap bagian bangsa Indonesia menolak segala bentuk character assassination (pembunuhan aksara) kepada segenap lapisan masyarakat, baik terhadap tokoh agama, tokoh masyarakat, para seniman dan artis, maupun usahawan, sebagaimana yang umum ditayangkan dalam acara-program infotainment yang disiarkan stasiun-stasiun TV. Apalagi program-program tersebut ialah satu bentuk eksploitasi kapitalisme global terhadap insan dan bangsa Indonesia. Dan hal itu jelas-jelas berlawanan dengan upaya character building yang sedang dijalankan bangsa ini. Kami juga mencermati intervensi kapitalisme global itu ke dalam karya- karya seni bangsa kita, dan itu telah merusak segala faktor kehidupan, tergolong dalam bikinan film dan sinetron, dengan mengeksploitasi kekayaan agama dan kebudayaan bangsa kita. Akibatnya terjadi pendangkalan kepada warisan kebudayaan bangsa, serta perampasan kepada masa depan belum dewasa dan generasi muda kita. Dan juga tidak bisa memperdalam spiritualitas dan kecerdasan bangsa ini. Maka, haruslah dihindarkan pengerjaan karya-karya drama, film, sinetron, jurnalistik dan karya-karya seni yang lain yang mendistorsi sejarah, legenda dan sastra Indonesia, hanya demi laba bisnis semata. Oleh sebab itu kami mendukung langkah yang dilakukan PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dalam Munas dan Konbesnya simpulan Juli 2006 kemudian,  yang mengharamkan segala bentuk character assassination sebagaimana yang ditayangkan dalam acara-program infotainment. Karena hal itu bertentangan dengan agenda bangsa ini untuk melakukan character building, pembentukan adab, akhlak dan tabiat bangsa. LATIHAN SOAL Soal Uraian: 1. Jelaskan ciri sikap keagamaan Nahdlatul Ulama! 2. Jelaskan ciri sikap keagamaan di bidang fikih/syari’ah! 3. Jelaskan ciri sikap NU di bidang budaya!
Sumber http://lets-sekolah.blogspot.com


EmoticonEmoticon