Makalah Madrasah Setelah Indonesia Merdeka
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan semenjak masuknya Islam itu sendiri. Tentunya pendidikan islam yang paling awal yaitu pendidikan yang terjadi melaui kontak informal, ialah kontak yang terjadi pada setiap harinya di antara penduduk muslim waktu itu. Perjalanan waktu pun mengakibatkan pendidikan islam berkembang, dalam hal ini pendidikan Islam telah diselenggarakan secara nonformal lewat masjid, surau, rengkag, dayah dan lain sebagainya. Tidak cuma secara nonformal pendidikan Islam pun menjelma pendidikan yang bersifat formal. Namun di Indonesia pendidikan yang bersifat formal ini mengalami pasang surut bahkan beberapa perlawanan, apalagi pada era penjajahan sebelum kemerdekaan Indonesia.
Pendidikan Islam pada kala penjajahan, mendapat tantangan yang keras dari pihak penjajah, sebagaimana pendidikan Islam, dalam hal ini pelajaran agama Islam dilarang di muat dalam kurikulum sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh penjajah, tidak cukup hanya pelarangan pelajaran agama Islam di sekolah, pelarang tersebut berlanjut pada beberapa ordonansi yang dikeluarkan oleh pihak penjajah yang ordonansi tersebut sungguh menutup ruang gerak pertumbuhan agama Islam. Menghadapi keadaan tersebut penduduk Islam pun tidak cuma tinggal membisu, beberapa tokoh Islam, melaksanakan perlawanan dengan mendirikan beberapa sekolah dan memasukkan pelajaran agama dalam sekolah tersebut. Sebagian lainnya menentukan mendirikan pesantren, dimana dalam pengoperasiaannya tidak tergantung pada pemerintahan penjajah.
Perjalananan sejarah pendidikan islam Indonesia juga mencatat dinamika madrasah, yang di Indonesia madrasah ialah perpaduan metode sekolah dan sistem pesantren. Madrasah sebelum kemerdekaan ialah cikal bakal yang dirintis oleh beberapa tokoh, mirip Abdullah Ahmad yang mendirikan madrasah Adabiyah sekitar tahun 1907, Zainuddin Labai el-Yunusiy yang mendirikan madrasah diniyah sekitar tahun 1915, dan lain sebagainya. Sebagai cikal bakal pertumbuhan madrasah di Indonesia, kedua madrasah di atas merupakan forum pendidikan yang pelajaran agamanya merupakan pelajaran pokok yang diberikan kepada siswa.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya, pendidikan Islam dalam hal ini madrasah masih menjadi kajian yang menawan dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, hal ini dikarenakan keberadaan madrasah yang berkali-kali mengalami pasang surut dalam menjaga eksistensinya selaku lembaga pendidikan Islam yang tentunya pelajaran agama Islam yang tidak mampu dilekangkan dari kurikulum madrasah tersebut.
Dinamika madrasah pun terus terjadi sampai hari ini, selaku fokus dinamika madrasah tersebut yakni tentang perdebatan ihwal muatan kurikulumnya. Di awal pendiriannya madrasah ialah lembaga yang mengakibatkan pelajaran agama selaku mata pelajaran pokok, pertumbuhan zaman pun menginginkan adanya perubahan dalam kurikulum madrasah. Sehingga mengakibatkan diskusi yang panjang hingga hingga dikala ini.
Akhirnya dalam tulisan singkat ini akan dikemukakan ulasan mengenai dinamika madrasah tersebut. Ulasan akan disajikan dengan beberapa kebijakan pemerintahan kepada keberadaan madrasah tersebut. Hal ini dikarenakan, bahwa keberadaan madrasah setelah Indonesia tidak bisa terlepas dari politik pendidikan Indonesia.
DINAMIKA EKSISTENSI MADRASAH
Sebagaimana yang telah diterangkan diatas bahwa keberadaan madrasah tidak mampu terlepas dari gejolak politik pendidikan yang terjadi di Indonesia. Gejolak politik pendidikan tersebut berupa sejauh mana relasi Negara dengan agama Islam. Dalam Hal ini keberadaan madrasah merupakan representasi dari kondisi kekerabatan Negara dan agama Islam. Mengenai hal ini Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’terpelajar mengilustrasikan bahwa dalam situasi dimana relasi Islam dengan Negara mengarah pada konflik, pertumbuhan madrasah condong terbatasi, bahkan mungkin terancam eksistensinya. Begitu pun sebaliknya, dalam hubungan Negara dan Islam bersifat integratif, kebijakan orde gres kepada madrasah tampak sangat aktual dengan menempatkan madrasah secara konsisten dalam pendidikan nasional[1].
Gambaran diatas menunjukan bahwa eksistensi madrasah dalam sistem pendidikan nasional juga dipengaruhi oleh beberapa kepentingan pemerintah. Terlepas dari beberapa kepentingan pemerintah tersebut, maka selanjutnya akan dipaparkan dinamika keberadaan madrasah yang pembahasannya dibagi kepada : 1. Madrasah di awal kemerdekaan, 2. Madrasah SKB tiga Menteri, 3. Madrasah dalam UU Sikdinas No. 2 tahun 1989, dan Madrasah dalam UU Sikdinas No. 20 Tahun 2003.
1. Madrasah di Awal Kemerdekaan
Perkembangan pendidikan Islam di permulaan kemerdekaan Indonesia tentunya merupakan perjuangan yang panjang dalam meraih pengakuannya. Dalam hal ini penduduk muslim pastinya sangat berharap pada Departemen Agama yang diresmikan pada tanggal 3 Januari 1946.
Keberadaan Departemen Agama ketika itu merupakan forum pemerintahan yang memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya gesekan diantara kecenderungan pengabaian pendidikan Islam dan kecenderungan mempertimbangan pendidikan islam tersebut. Dalam hal inilah penduduk muslim meletakkan harapan yang besar kepada kinerja Departemen Agama, yaitu bahwa masyarakat menghendaki pendidikan islam supaya diselenggarakan di sekolah, dan sekaligus menginginkan Departemen Agama supaya membuatkan eksistensi madrasah.
Menyahuti aspirasi masyarakat muslim tersebut, dalam hal ini maka Departemen Agama memiliki beberapa tugas selaku yang tertulis dalam suatu dokumen yang menyebutkan peran bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama itu mencakup : pertama, memberi pengajaran agama di sekolah negeri maupun partikuler, kedua, menunjukkan pengetahuan lazim di madrasah, dan ketiga mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).
Dari beberapa tugas bagian pendidikan Departemen Agama tersebut diatas, terlihat bahwa pemerintahan dalam hal ini Departemen Agama memiliki peranan yang sangat sentral dalam pengembangan pendidikan islam khususnya pada pengembangan madrasah. Hal inipun tampakdengan dikeluarkannya peraturan menteri Agama Nomor 1 tahun 1946 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No.7 Tahun 1952. Dimana dalam peraturan menteri tersebut dijelaskan bahwa pemerintahan lewat Departemen Agama akan memberikan dukungan-pertolongan terhadap madrasah dalam bentuk material dan panduan. Melalui peraturan menteri tersebut juga diterangkan ketentuan jenjang pendidikan pada madrasah yang berisikan :
1. Madrasah rendah, sekarang namanya disebut Madrasah Ibtidaiyah.
2. Madrasah lanjutan tingkat pertama, sekarang disebut dengan Madrasah Tsanawiyah.
3. Madrasah lanjutan atas, sekarang disebut namanya Madrasah Aliyah[2].
Tidak hanya sebatas menawarkan pemberian dan tutorial kepada madrasah, selaku upaya peningkatan mutu madrasah, maka pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, melaksanakan penegerian terhadap beberapa madrasah yang telah ada saat itu, baik madrasah tersebut yang dikelola oleh langsung maupun madrasah yang diatur oleh organisasi-organisasi keislaman. Sehingga Dalam hal ini sebagai mana yang dilangsir Haidar tercatat sejumlah ratusan madrasah negeri, yang mencakup tingkat ibtidaiyah dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), setingkat tsanawiyah dengan nama Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTsAIN), dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN)[3].
Mengenai penegerian beberapa madrasah tersebut, Abdul Rahman Shaleh menjelaskan penegerian madrasah yang diawali berdasarkan Surat Menteri Agama No. 80 Tahun 1967, adalah dengan menegerikan Madrasah Tsanawiyah Sabilul Muttaqin, Magetan Madiun dan Madrasah Aliyah al-Islam Surakarta. Ia juga mengungkapkan bahwa madrasah negeri timbul selaku akibat penyerahan 205 buah SRI (Sekolah Rakyat Islam) dari pemerintahan daerah Aceh (1946), 19 buah SRI Lampung dari Residen Lampung (1948), 1 Buah Madrasah Mambaul Ulum Surakarta, warisan Kesunanan (1956)[4].
Mengenai pengertian beberapa madrasah tersebut Rahman juga menyertakan bahwa penegerian madrasah tersebut dimaksudkan selaku percontohan bagi madrasah swasta, sedangkan pembinaan madrasah swasta pada waktu itu diklasifikasikan menjadi status terdaftar dan disamakan. Pada status terdaftar madrasah mengikuti ujian persamaan madrasah negeri dan pada status dipersamakan madrasah memiliki hak yang serupa dengan madrasah negeri[5].
Di awal kemerdekaan Indonesia, Departemen Agama juga pernah melaksanakan sebuah kebijakan yang strategis dalam memperbaharui metode pendidikan di madrasah. Departemen Agama yang dikala itu dipimpin oleh KH. Moh Ilyas (1953-1959) memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) 8 tahun. Lamanya belajar MWB 8 tahun ini dengan pendapatbahwa pada umur 6 tahun anak sudah berhak bersekolah dan pada umur 15 tahun sesuai dengan undang-undang perburuhan yang berlaku anak telah diizinkan untuk mencari nafkah[6].
Mengenai madrasah wajib mencar ilmu 8 tahun ini, Haidar menerangkan bahwa materi pelajarannya berisikan mata pelajaran agama, lazim dan keterampilan dalam bidang ekonomi, industrialiasasi dan transmigrasi. Pendidikan agama, meliputi keimanan/etika, Qur’an, fiqh/ibadah, diberikan semenjak kelas I s/d kelas VIII, tafsir dan hadis diberikan di kelas VII dan VIII, sejarah Islam diberikan mulai dari kelas III s/d VIII, sedangkan pelajaran bahasa Arab dimulai dari kelas V s/d kelas VIII. Mata pelajaran umum disetarakan dengan sekolah dasar, sedangkan kerajinan tangan (keterampilan), diajarkan mulai dari kelas I[7].
2. Madrasah SKB Tiga Menteri
Tak dapat terelakkan bahwa kelahiran madrasah SKB tiga menteri merupakan kegelisahan masyarakat muslim Indonesia dengan keberadaan madrasah dalam tata cara pendidikan nasional. Dengan berlakunya SKB tiga menteri tersebut, maka keberadaan madrasah lebih konkret dan merupakan langkah yang strategis selaku tahapan integrasi madrasah ke dalam tata cara pendidikan nasional.
Beberapa diktum yang tercantum dalam SKB tiga menteri tersebut menguatkan keberadaan madrasah, mirip dalam Bab I, pasal 1, ayat 2, yang berbunyi :
a. Madrasah Ibtidaiyyah, setingkat dengan Sekolah Dasar.
b. Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan SMP.
c. Madrasah Aliyah, Setingkat dengan Sekolah menengah atas.
Dalam bab II pasal 2 disebutkan bahwa :
a. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum yang setingkat.
b. Lulusan Madrasah mampu melanjutkan ke Sekolah Umum setingkat lebih atas.
c. Siswa Madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum yang setingkat.
Selanjutnya perihal pengeloaan dan training dinyatakan dalam bab IV pasal 4 sebagai berikut :
(1) Pengeloaan Madrasah dilaksanakan oleh Menteri Agama.
(2) Pembinaan mata pelajaran Agama pada madrasah dilaksanakan oleh Menteri Agama.
(3) Pembinaan dan pengawasan mutu Mata pelajaran lazim pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tolong-menolong dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Beberapa klarifikasi diktum yang terdapat dalam SKB tiga Menteri tersebut, sehingga jelaslah bahwa madrasah merupakan forum pendidikan yang setara dengan sekolah lazim, ialah lembaga pendidikan yang mengakibatkan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sedikitnya sebanyak 30 %, di samping mata pelajaran lazim.
Mengenai mata pelajaran madrasah SKB tiga Menteri ini, Maksum menerangkan sekalipun presentase mata pelajaran agama Islam yakni sekurang-kuragnya 30 %, namun semangatnya tetap 100 %. Pengertiannya “mata pelajaran agama tetap 100 % diberikan di Madrasah Aliyah sebagaimana yang sudah biasa dilaksanakan selama ini, hanya waktu yang disediakan untuk menghidangkan mata pelajaran agama tersebut 30 % dari keseluruhan waktu/jam pelajaran yang ada di madrasah Aliyah[8].
Mengenai presentase tersebut, Muhaimin menjelaskan bahwa bahwa porsi 70 % wawasan umum dan 30 % pengetahuan agama rupanya dimengerti secara simbolik kuantitatif dan bukan substansial kualitatif, sehingga lagi-lagi outputnya menjadi mandul, penguasaan wawasan biasa masih dangkal dan wawasan agamanya pun tidak jauh berlawanan[9].
Dengan berlakuya SKB tiga Menteri tersebut, maka perombakan kurikulum pada madrasah pun mengalami pergeseran. Sehingga dengan SKB tiga Menteri tersebut madrasah memuat mata pelajaran-pelajaran biasa dalam jumlah yang sama dengan kurikulum sekolah, sehingga dengan demikian madrasah dengan SKB tiga menteri ini mampu juga disebut dengan sekolah plus agama Islam jikalau ditinjau secara kelembagaan.
Mengenai kurikulum madrasah dalam SKB tiga Menteri ini, Maksum menjelaskan pada tahap permulaan setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978. Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi dengan melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 Tahun 1987. Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan[10].
Pada tingkat ibtidaiyah, komposisi kurikulum 1984 berisikan 15 mata pelajaran. Bidang studi agama cuma mencakup sekitar 30 % dengan lima mata pelajaran. Dua diantaranya baru diberikan mulai kelas tiga, yaitu sejarah islam dan bahasa Arab. Selebihnya sekitar 70 % dengan 10 bidang study, ialah intel pelajaran lazim yang diberikan sejak kelas satu sampai kelas enam. Pada tingkat Tsanawiyah, komposisi kurikulum dibagi ke dalam tiga jenis pendidikan : (1) Pendidikan dasar Umum, (2) Pendidikan dasar Akademik, dan (3) Pendidikan Keterampilan. Dari 16 mata pelajaran yang diangkut dalam kurikulum ini hanya terdapat lima mata pelajaran agama, yakni : Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqh, Sejarah dan Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Tiga mata pelajaran yang pertama ialah bagian dari tujuh mata pelajaran dalam jenis pendidikan dasar umum, sedang dua sisanya ialah bab dari delapan mata pelajaran dalam jenis pendidikan dasar akademik. Pada tingkat aliyah, struktur kurikulum berlainan antara satu jurusan dengan jurusan yang lainnya. Sesuai dengan kurikulum nasional 1984, pendidikan pada tingkat aliyah atau menengah atas biasa terdiri dari lima opsi jurusan : 1. A1 (ilmu-ilmu agama), 2. A2 (ilmu-ilmu fisika), 3. A3 (ilmu-ilmu biologi), 4. A4 (ilmu-ilmu Sosial), 5. A5. (Pengetahuan Budaya). Komponen kurikulum 1984 tingkat aliyah kebanyakan terbagi ke dalam dua acara :Program Inti dan Program Pilihan. Termasuk ke dalam acara inti yakni pendidikan agama yang mencakup lima mata pelajaran dan pendidikan dasar umum yang terdiri dari 19 mata pelajaran. Sedangkan dalam program pilihan cuma menampung pendidikan pengembangan yang kandungan atau agen rahasia pelajarannya berbeda antara satu jurusan dengan jurusan lainnya.
Pada dasarnya SKB tiga Menteri ini merupakan langkah strategis untuk menghilangkan fikiran tehadap keberadaan madrasah yang selama ini termajinalkan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perbedaan yang mendasar bagi lulusan sekolah biasa dan madrasah. Dalam hal ini, Haidar Putra Daulay setidaknya menerangkan dua hal yang fundamental dalam perbedaan tersebut : pertama, di dalam potensi untuk melanjutkan studi. Dalam hal ini lulusan madrasah tidak memiliki peluang untuk memasuki universitas negeri, mereka cuma bisa melanjutkan ke akademi tinggi agama seperti IAIN atau akademi tinggi agama swasta. Setelah adanya SKB tiga Menteri ini, maka lulusan madrasah telah mempunyai kesempatan untuk memasuki universitas lazim negeri. Kedua, yakni dari peluang bekerja. Sebelum lahirnya SKB tiga Menteri peluang untuk menjadi pengawai negeri maupun swasta, bagi alumnus madrasah cuma terbatas dalam lingkungan Departemen Agama atau lembaga keagmaan saja, tetapi dengan SKB tiga Menteri ini peluang itu lebih luas[11].
3. Madrasah dalam UU Sikdinas No 2 Tahun 1989
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 wacana Sistem Pendidikan Nasional ialah undang-undang yang sudah menyebabkan madrasah selaku sub tata cara dalam pendidikan nasional. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan perihal ketentuan jalur dan jenis pendidikan, berhubungang dengan madrasah maka dalam undang-undang tersebut madrasah digunakan dengan istilah sekolah keagamaan, hal ini berarti bahwa madrasah ialah forum yang serupa mirip sekolah pada setiap tingkat dan jenisnya.
Mengenai hal diatas, Maksum menjelaskan implikasi dari UUSPN terhadap pendidikan madrasah mampu diperhatikan pada kurikulum dari semua jenjang pendidikan madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah hingga dengan Aliyah. Secara lazim perjenjangan itu pun paralel dengan perjenjangan pada pendidikan sekolah, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, hingga dengan Sekolah Menengah Umum. Di bawah ketentuan yang terintegrasi itu, Madrasah Ibtidaiyah ialah SD Berciri Khas Islam, Madrasah Tsanawiyah ialah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Berciri Khas Islam, keduanya-duanya, MI dan MTs, termasuk dalam Kategori pendidikan dasar[12]. Sedangkan Madrasah Aliyah, pada dasarnya dikategorikan selaku Sekolah Menengah biasa Berciri Khas Islam[13].
Keterangan diatas menjelasakan bahwa intinya undang-undang tersebut menginginkan persamaan kurikulum pendidikan diantara madrasah dan sekolah umum pada setiap jenis dan jenjangnya. Mengenai kurikulum ini dipertegas dengan Keputusan Menteri Agama RI No. 372 Tahun 1993 Tentang Kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Agama Islam. Adapun kutipan dari Keputusan Menteri Agama tersebut, sebagai berikut :
“ adapun isi kurikulum pendidikan dasar yang berciri khas agama Islam, di samping wajib menampung materi kajian sebagaimana tersebut diatas, juga wajib menampung bahan kajian sebagai ciri khas agama Islam, yang tertuang dalam mata pelajaran agama dengan uraian selaku berikut : a. Qur’an Hadis, b. Aqidah Akhlak, c. Fiqh, d. Sejarah Kebudayaan Islam, dan e. Bahasa Arab yang diselenggarakan dalam iklim yang menunjang pembentukan kepribadian muslim”.
Dengan adanya Keputusan Menteri Agama tersebut, maka jelaslah kurikulum madrasah selain menampung mata pelajaran biasa sebagaimana yang biasanya termuat dalam kurikulum sekolah kebanyakan, kurikulum madrasah juga memuat pelajaran agama, dan muatan pelajaran agama inilah yang menyebabkan madrasah sebagai sekolah berciri khas Islam.
Mengenai eksistensi madrasah Aliyah, pemerintahan dalam hal ini Departemen Agama lewat menterinya, mengeluarkan Keputusan Menteri agama No. 370 Tahun 1993, dimana dalam keputusan tersebut diterangkan bahwa madrasah Aliyah yaitu sekolah Menengah biasa yang berciri agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Jika PP No. 29 Tahun 1990 membagi pendidikan menengah kepada : pendidikan Menengah Umum, Pendidikan Menengah Kejuruan, Pendidikan Menengah Keagamaan, Pendidikan Menengah Kedinasam, dan Pendidikan Menengah Luar biasa, sehingga berdasarkan Keputusan Menteri Agama tersebut, maka madrasah Aliyah dibagi terhadap dua macam acara pendidikan. Pertama, madrasah Aliyah yang kurikulumnya dan studinya sama dengan Sekolah Menengah Umum, dan yang kedua ialah madrasah Aliyah Keagamaan.
Mengenai kurikulum madrasah Aliyah dalam Keputusan Menteri tersebut, maka bergotong-royong kurikulum madrasah memuat beberapa mata pelajaran umum, sebagaimana yang ada pada kurikulum Sekolah Menengah Umum, dan juga memuat pelajaran agama (Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab), sama seperti madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, keberadaan pelajaran agama dalam madrasah Aliyah menjadikannya sebagai Sekolah Menengah Umum berciri khas agama Islam. sehubungan dengan hal ini, Haidar menyatakan bahwa tujuan madrasah Aliyah tersebut ada dua, pertama perluasan wawasan dan kenaikan keterampilan siswa , kedua pelaksanaan ciri-ciri keislamannya[14].
Mengenai madrasah Aliyah Keagamaan (MAK), ialah madrasah yang memuat mata pelajaran agama sebesar 70 % dan pelajaran umum sebanyak 30 %. Tujuan dari acara madrasah ini yaitu merencanakan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus perihal pedoman agama Islam.
4. Madrasah dalam UU Sikdinas No. 20 Tahun 2003
Pada dasarnya keberadaan madrasah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tidak jauh berbeda dari apa yang tertuang dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, namun dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 penyebutan madrasah secara nomenklatur telah tertuang dalam batang badan undang-undang tersebut. Hal ini mampu dilihat dalam pasal 17 ayat (2), yang berbunyi : Pendidikan dasar berbentuk SD (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (Sekolah Menengah Pertama) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Dan pada pasal 18 ayat (3), yang berbunyi : Pendidikan menengah berupa Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Penjelasan diatas, memastikan bahwa eksistensi madrasah semakin kuat dalam integrasi pendidikan nasional. Sehingga eksistensinya sebagai sekolah berciri khas agama Islam makin besar lengan berkuasa dalam pendidikan nasional. Namun yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini yakni bahwa dengan adanya pengesahan yang besar lengan berkuasa kepada keberadaan madrasah sebagai sekolah lazim berciri khas agama Islam, adalah mengenai kualitas lembaga tersebut dalam mencetak para lulusannya. Tentunya dengan berciri khas agama Islam yang disandarkan pada madrasah, maka lulusan madrasah haruslah lebih unggul dari lulusan sekolah, ialah lulusan madrasah ialah lulusan yang tidak cuma kualified dalam pelajaran biasa , tetapi juga kuliafied dalam pelajaran agama. Tentunya dalam hal ini ialah tantangan tersendiri bagi madrasah tersebut.
Demikianlah beberapa dinamika yang terjadi pada keberadaan madrasah sehabis Indonesia merdeka. Diawali dari hanya selaku lembaga yang menunjukkan pelajaran agama selaku mata pelajaran pokok, berevolusi sebagai forum yang termasuk dalam subsistem pendidikan nasional, hingga karenanya madrasah menjadi metode yang integratif dalam metode pendidikan nasional, dimana madrasah tersebut merupakan sekolah lazim yang berciri khas Agama Islam.
Madrasah yang merupakan sekolah bercirikan agama Islam, pada dasarnya merupakan akreditasi yang dilematis yang ditujukan pada madrasah. Di satu sisi madrasah sebagai sekolah biasa yang berciri khas agama Islam dituntut supaya mampu mencetak para lulusan yang tafaquh dalam ilmu agama, namun di segi yang lain muncul sebuah keraguan apakah mungkin lahir lulusan yang tafaquh dalam ilmu agama bila pelajaran agama cuma tersaji 30 % dalam madrasah.
Pengakuan dilematis tersebut bukanlah tidak berdalih, dalam hal ini Hasan Asari menerangkan bahwa madrasah tetaplah madrasah dalam nama, tetapi dia sudah berubah hampir sepenuhnya dalam hakikatnya. Jika dahulu Syaikh Muhammad Thaib Umar merasa bahwa cita-citanya terwakili oleh “Madrasah-School” , maka madrasah kini lebih tepat diwakili oleh “School-Madrasah”. Syaikh M. Thaib Umar mengharapkan madrasahnya meningkat dengan jati dirinya sendiri sambil menyerap komponen-komponen terbaik dari dunia persekolahan. Dewasa ini impian yang mayoritas, sepertinya yakni bagaimana semoga madrasah berkembang secepat mungkin sehingga menjadi sama dengan sekolah[15].
Pengakuan kepada keberadaan madrasah mengalami perjalanan yang panjang dalam metode pendidikan nasional. Di awal kemerdekaan keberadaan madrasah sangat termajinalkan bahkan keberadaannya dianggap tidak ada. Hal ini disebabkan muatan kurikulumnya yang memuat pelajaran agama Islam sebagai kurikulum pokok pada madrasah, di lain pihak terjadi perdebatan diantara pengabaian pendidikan islam dan pengakuannya.
Eksistensi madrasah tidak dapat dipisahkan dari tugas aktif pemerintahan dalam hal ini Departemen Agama. Departemen Agama yang merupakan representasi dari umat Islam, di permulaan kemerdekaan telah melakukan perbaikan kepada madrasah, yakni dengan menunjukkan pemberian kepada madrasah, baik berupa pertolongan material maupun panduan dalam penyelenggaraan madrasah tersebut. Tidak cuma hingga disitu, Depertemen Agama pun mengeluarkan kebijakan untuk melakukan penegerian beberapa madrasah. Penegerian ini mempunyai arti bahwa pemerintah mulai mengakui keberadaan madrasah sebagai lembaga pendidikan resmi, yang tentunya juga berimbas terhadap pengelolaan madrasah tersebut diselenggarakan oleh pemerintah pula.
Namun pada perkembangannya, status negeri yang sudah dimiliki oleh beberapa madrasah tidaklah bisa melepas dari belenggu lembaga yang termajinalkan dari sekolah pada umumnya, hal ini dibuktikan masih sempitnya ruang gerak bagi lulusan madrasah dalam meraih pendidikan yang lebih tinggi, bahkan lulusan madrasah cuma memiliki lapangan kerja yang sungguh kecil, ialah hanya terbatas pada Departemen Agama, dan lembaga lainnya yang cuma terkait dengan keagamaan saja.
Menyahuti persoalan yang dialami oleh lulusan madrasah tersebut, maka Departemen Agama melaksanakan kebijakan berupa mengeluarkan SKB tiga Menteri.Sehingga dengan SKB Tiga Menteri tersebut eksistesnsi madrasah menjadi setara dengan sekolah, artinya lulusan madrasah memiliki peluang yang sama dengan lulusan sekolah dalam meraih pendidikan yang lebih tinggi, maupun garapan lapangan pekerjaan. Selanjutnya madrasah pun makin eksis dalam pendidikan nasional, bahkan menjadi pendidikan yang integratif dalam metode pendidikan nasional, yang diketahui sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam.
Yang menjadi perhatian bahwa madrasah yang merupakan sekolah berciri khas agama Islam, jangan diketahui hanya sekedar simbolik saja, ialah madrasah jangan hanya diketahui selaku sekolah yang bertemaislami, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu madrasah harus bisa menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai keislaman pada setiap bidang pelajaran yang termuat dalam kurikulumnya. Tentunya hal ini berimbas kepada keperluan para guru madrasah yang bisa mengintegrasikan wawasan imtek dan imtaq. Dan untuk menciptkan guru madrasah tersebut pastinya IAIN maupun UIN mesti bisa menjadi balasan bagi penyediaan guru madrasah. Sehingga hal ini berimbas kepada kesiapan IAIN maupun UIN sebagai pendidikan tinggi Islam, dalam hal ini Fakultas Tarbiyah, membuka program studi-studi lainnya di samping jurusan keguruan Islam yang lain, mirip tadris Matematika, tadris IPA, tadris IPS, dan tadris yang lain. Hal ini dibutuhkan, sehingga fakultas Tarbiyah menjadi idola dalam mencetak guru-guru madrasah yang berkompeten selaku guru yang bisa mengitegrasikan imtaq dan taqwa terhadap murid-muridnya.
---------------------
[1] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’berilmu, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (Sapen : Lista Fariska Putra, 2004), h. 49
[2] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 75
[3] Ibid
[4] Abdul Rahman Shaleh, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa : Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 24
[5] Ibid
[6] Ibid, h. 26
[7] Haidar Putra Daulay, Ibid, h. 76
[8] Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana ILmu, 1999), h. 151-151. Dalam penjelasan catatan kakinya, Ia menerangkan Zakiyah Derajat menyambut formula 30 %-70 % itu dengan semangat kurikulum 100 %-100 % dengan pengertian di dalam pelajaran agama dimasukkan pelajaran umum dan di dalam pelajaran lazim dimasukkan pelajaran agama, sehingga keduanya merupakan pelajaran yang integratif.
[9] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), Cet. Kedua, h. 176
[10] Maksum, Ibid, h. 153
[11] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2009), Cet. Kedua, h. 105
[12] Mengenai hal tersebut, tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No.368/93 tanggal 22 Desember 1993, Lihat juga PP No. 28 tahun 1990 disebutkan pada bagian III pasal 4 ayat (3) : Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah.
[13] Lihat Keputusan Menteri Agama No. 370 Tahun 1993
[14] Haidar Putra Daulay, Op. Cit, h. 114
[15] Hasan Asari, Esai-Esai Sejarah, Pedidikan , dan Kehidupan, (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 103
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comPendidikan Islam pada kala penjajahan, mendapat tantangan yang keras dari pihak penjajah, sebagaimana pendidikan Islam, dalam hal ini pelajaran agama Islam dilarang di muat dalam kurikulum sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh penjajah, tidak cukup hanya pelarangan pelajaran agama Islam di sekolah, pelarang tersebut berlanjut pada beberapa ordonansi yang dikeluarkan oleh pihak penjajah yang ordonansi tersebut sungguh menutup ruang gerak pertumbuhan agama Islam. Menghadapi keadaan tersebut penduduk Islam pun tidak cuma tinggal membisu, beberapa tokoh Islam, melaksanakan perlawanan dengan mendirikan beberapa sekolah dan memasukkan pelajaran agama dalam sekolah tersebut. Sebagian lainnya menentukan mendirikan pesantren, dimana dalam pengoperasiaannya tidak tergantung pada pemerintahan penjajah.
Perjalananan sejarah pendidikan islam Indonesia juga mencatat dinamika madrasah, yang di Indonesia madrasah ialah perpaduan metode sekolah dan sistem pesantren. Madrasah sebelum kemerdekaan ialah cikal bakal yang dirintis oleh beberapa tokoh, mirip Abdullah Ahmad yang mendirikan madrasah Adabiyah sekitar tahun 1907, Zainuddin Labai el-Yunusiy yang mendirikan madrasah diniyah sekitar tahun 1915, dan lain sebagainya. Sebagai cikal bakal pertumbuhan madrasah di Indonesia, kedua madrasah di atas merupakan forum pendidikan yang pelajaran agamanya merupakan pelajaran pokok yang diberikan kepada siswa.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya, pendidikan Islam dalam hal ini madrasah masih menjadi kajian yang menawan dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, hal ini dikarenakan keberadaan madrasah yang berkali-kali mengalami pasang surut dalam menjaga eksistensinya selaku lembaga pendidikan Islam yang tentunya pelajaran agama Islam yang tidak mampu dilekangkan dari kurikulum madrasah tersebut.
Dinamika madrasah pun terus terjadi sampai hari ini, selaku fokus dinamika madrasah tersebut yakni tentang perdebatan ihwal muatan kurikulumnya. Di awal pendiriannya madrasah ialah lembaga yang mengakibatkan pelajaran agama selaku mata pelajaran pokok, pertumbuhan zaman pun menginginkan adanya perubahan dalam kurikulum madrasah. Sehingga mengakibatkan diskusi yang panjang hingga hingga dikala ini.
Akhirnya dalam tulisan singkat ini akan dikemukakan ulasan mengenai dinamika madrasah tersebut. Ulasan akan disajikan dengan beberapa kebijakan pemerintahan kepada keberadaan madrasah tersebut. Hal ini dikarenakan, bahwa keberadaan madrasah setelah Indonesia tidak bisa terlepas dari politik pendidikan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Madrasah Setelah Indonesia Merdeka
PEMBAHASAN
Makalah Madrasah Setelah Indonesia Merdeka
DINAMIKA EKSISTENSI MADRASAH
Sebagaimana yang telah diterangkan diatas bahwa keberadaan madrasah tidak mampu terlepas dari gejolak politik pendidikan yang terjadi di Indonesia. Gejolak politik pendidikan tersebut berupa sejauh mana relasi Negara dengan agama Islam. Dalam Hal ini keberadaan madrasah merupakan representasi dari kondisi kekerabatan Negara dan agama Islam. Mengenai hal ini Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’terpelajar mengilustrasikan bahwa dalam situasi dimana relasi Islam dengan Negara mengarah pada konflik, pertumbuhan madrasah condong terbatasi, bahkan mungkin terancam eksistensinya. Begitu pun sebaliknya, dalam hubungan Negara dan Islam bersifat integratif, kebijakan orde gres kepada madrasah tampak sangat aktual dengan menempatkan madrasah secara konsisten dalam pendidikan nasional[1].
Gambaran diatas menunjukan bahwa eksistensi madrasah dalam sistem pendidikan nasional juga dipengaruhi oleh beberapa kepentingan pemerintah. Terlepas dari beberapa kepentingan pemerintah tersebut, maka selanjutnya akan dipaparkan dinamika keberadaan madrasah yang pembahasannya dibagi kepada : 1. Madrasah di awal kemerdekaan, 2. Madrasah SKB tiga Menteri, 3. Madrasah dalam UU Sikdinas No. 2 tahun 1989, dan Madrasah dalam UU Sikdinas No. 20 Tahun 2003.
1. Madrasah di Awal Kemerdekaan
Perkembangan pendidikan Islam di permulaan kemerdekaan Indonesia tentunya merupakan perjuangan yang panjang dalam meraih pengakuannya. Dalam hal ini penduduk muslim pastinya sangat berharap pada Departemen Agama yang diresmikan pada tanggal 3 Januari 1946.
Keberadaan Departemen Agama ketika itu merupakan forum pemerintahan yang memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya gesekan diantara kecenderungan pengabaian pendidikan Islam dan kecenderungan mempertimbangan pendidikan islam tersebut. Dalam hal inilah penduduk muslim meletakkan harapan yang besar kepada kinerja Departemen Agama, yaitu bahwa masyarakat menghendaki pendidikan islam supaya diselenggarakan di sekolah, dan sekaligus menginginkan Departemen Agama supaya membuatkan eksistensi madrasah.
Menyahuti aspirasi masyarakat muslim tersebut, dalam hal ini maka Departemen Agama memiliki beberapa tugas selaku yang tertulis dalam suatu dokumen yang menyebutkan peran bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama itu mencakup : pertama, memberi pengajaran agama di sekolah negeri maupun partikuler, kedua, menunjukkan pengetahuan lazim di madrasah, dan ketiga mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).
Dari beberapa tugas bagian pendidikan Departemen Agama tersebut diatas, terlihat bahwa pemerintahan dalam hal ini Departemen Agama memiliki peranan yang sangat sentral dalam pengembangan pendidikan islam khususnya pada pengembangan madrasah. Hal inipun tampakdengan dikeluarkannya peraturan menteri Agama Nomor 1 tahun 1946 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No.7 Tahun 1952. Dimana dalam peraturan menteri tersebut dijelaskan bahwa pemerintahan lewat Departemen Agama akan memberikan dukungan-pertolongan terhadap madrasah dalam bentuk material dan panduan. Melalui peraturan menteri tersebut juga diterangkan ketentuan jenjang pendidikan pada madrasah yang berisikan :
1. Madrasah rendah, sekarang namanya disebut Madrasah Ibtidaiyah.
2. Madrasah lanjutan tingkat pertama, sekarang disebut dengan Madrasah Tsanawiyah.
3. Madrasah lanjutan atas, sekarang disebut namanya Madrasah Aliyah[2].
Tidak hanya sebatas menawarkan pemberian dan tutorial kepada madrasah, selaku upaya peningkatan mutu madrasah, maka pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, melaksanakan penegerian terhadap beberapa madrasah yang telah ada saat itu, baik madrasah tersebut yang dikelola oleh langsung maupun madrasah yang diatur oleh organisasi-organisasi keislaman. Sehingga Dalam hal ini sebagai mana yang dilangsir Haidar tercatat sejumlah ratusan madrasah negeri, yang mencakup tingkat ibtidaiyah dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), setingkat tsanawiyah dengan nama Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTsAIN), dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN)[3].
Mengenai penegerian beberapa madrasah tersebut, Abdul Rahman Shaleh menjelaskan penegerian madrasah yang diawali berdasarkan Surat Menteri Agama No. 80 Tahun 1967, adalah dengan menegerikan Madrasah Tsanawiyah Sabilul Muttaqin, Magetan Madiun dan Madrasah Aliyah al-Islam Surakarta. Ia juga mengungkapkan bahwa madrasah negeri timbul selaku akibat penyerahan 205 buah SRI (Sekolah Rakyat Islam) dari pemerintahan daerah Aceh (1946), 19 buah SRI Lampung dari Residen Lampung (1948), 1 Buah Madrasah Mambaul Ulum Surakarta, warisan Kesunanan (1956)[4].
Mengenai pengertian beberapa madrasah tersebut Rahman juga menyertakan bahwa penegerian madrasah tersebut dimaksudkan selaku percontohan bagi madrasah swasta, sedangkan pembinaan madrasah swasta pada waktu itu diklasifikasikan menjadi status terdaftar dan disamakan. Pada status terdaftar madrasah mengikuti ujian persamaan madrasah negeri dan pada status dipersamakan madrasah memiliki hak yang serupa dengan madrasah negeri[5].
Di awal kemerdekaan Indonesia, Departemen Agama juga pernah melaksanakan sebuah kebijakan yang strategis dalam memperbaharui metode pendidikan di madrasah. Departemen Agama yang dikala itu dipimpin oleh KH. Moh Ilyas (1953-1959) memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) 8 tahun. Lamanya belajar MWB 8 tahun ini dengan pendapatbahwa pada umur 6 tahun anak sudah berhak bersekolah dan pada umur 15 tahun sesuai dengan undang-undang perburuhan yang berlaku anak telah diizinkan untuk mencari nafkah[6].
Mengenai madrasah wajib mencar ilmu 8 tahun ini, Haidar menerangkan bahwa materi pelajarannya berisikan mata pelajaran agama, lazim dan keterampilan dalam bidang ekonomi, industrialiasasi dan transmigrasi. Pendidikan agama, meliputi keimanan/etika, Qur’an, fiqh/ibadah, diberikan semenjak kelas I s/d kelas VIII, tafsir dan hadis diberikan di kelas VII dan VIII, sejarah Islam diberikan mulai dari kelas III s/d VIII, sedangkan pelajaran bahasa Arab dimulai dari kelas V s/d kelas VIII. Mata pelajaran umum disetarakan dengan sekolah dasar, sedangkan kerajinan tangan (keterampilan), diajarkan mulai dari kelas I[7].
2. Madrasah SKB Tiga Menteri
Tak dapat terelakkan bahwa kelahiran madrasah SKB tiga menteri merupakan kegelisahan masyarakat muslim Indonesia dengan keberadaan madrasah dalam tata cara pendidikan nasional. Dengan berlakunya SKB tiga menteri tersebut, maka keberadaan madrasah lebih konkret dan merupakan langkah yang strategis selaku tahapan integrasi madrasah ke dalam tata cara pendidikan nasional.
Beberapa diktum yang tercantum dalam SKB tiga menteri tersebut menguatkan keberadaan madrasah, mirip dalam Bab I, pasal 1, ayat 2, yang berbunyi :
a. Madrasah Ibtidaiyyah, setingkat dengan Sekolah Dasar.
b. Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan SMP.
c. Madrasah Aliyah, Setingkat dengan Sekolah menengah atas.
Dalam bab II pasal 2 disebutkan bahwa :
a. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum yang setingkat.
b. Lulusan Madrasah mampu melanjutkan ke Sekolah Umum setingkat lebih atas.
c. Siswa Madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum yang setingkat.
Selanjutnya perihal pengeloaan dan training dinyatakan dalam bab IV pasal 4 sebagai berikut :
(1) Pengeloaan Madrasah dilaksanakan oleh Menteri Agama.
(2) Pembinaan mata pelajaran Agama pada madrasah dilaksanakan oleh Menteri Agama.
(3) Pembinaan dan pengawasan mutu Mata pelajaran lazim pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tolong-menolong dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Beberapa klarifikasi diktum yang terdapat dalam SKB tiga Menteri tersebut, sehingga jelaslah bahwa madrasah merupakan forum pendidikan yang setara dengan sekolah lazim, ialah lembaga pendidikan yang mengakibatkan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sedikitnya sebanyak 30 %, di samping mata pelajaran lazim.
Mengenai mata pelajaran madrasah SKB tiga Menteri ini, Maksum menerangkan sekalipun presentase mata pelajaran agama Islam yakni sekurang-kuragnya 30 %, namun semangatnya tetap 100 %. Pengertiannya “mata pelajaran agama tetap 100 % diberikan di Madrasah Aliyah sebagaimana yang sudah biasa dilaksanakan selama ini, hanya waktu yang disediakan untuk menghidangkan mata pelajaran agama tersebut 30 % dari keseluruhan waktu/jam pelajaran yang ada di madrasah Aliyah[8].
Mengenai presentase tersebut, Muhaimin menjelaskan bahwa bahwa porsi 70 % wawasan umum dan 30 % pengetahuan agama rupanya dimengerti secara simbolik kuantitatif dan bukan substansial kualitatif, sehingga lagi-lagi outputnya menjadi mandul, penguasaan wawasan biasa masih dangkal dan wawasan agamanya pun tidak jauh berlawanan[9].
Dengan berlakuya SKB tiga Menteri tersebut, maka perombakan kurikulum pada madrasah pun mengalami pergeseran. Sehingga dengan SKB tiga Menteri tersebut madrasah memuat mata pelajaran-pelajaran biasa dalam jumlah yang sama dengan kurikulum sekolah, sehingga dengan demikian madrasah dengan SKB tiga menteri ini mampu juga disebut dengan sekolah plus agama Islam jikalau ditinjau secara kelembagaan.
Mengenai kurikulum madrasah dalam SKB tiga Menteri ini, Maksum menjelaskan pada tahap permulaan setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978. Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi dengan melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 Tahun 1987. Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan[10].
Pada tingkat ibtidaiyah, komposisi kurikulum 1984 berisikan 15 mata pelajaran. Bidang studi agama cuma mencakup sekitar 30 % dengan lima mata pelajaran. Dua diantaranya baru diberikan mulai kelas tiga, yaitu sejarah islam dan bahasa Arab. Selebihnya sekitar 70 % dengan 10 bidang study, ialah intel pelajaran lazim yang diberikan sejak kelas satu sampai kelas enam. Pada tingkat Tsanawiyah, komposisi kurikulum dibagi ke dalam tiga jenis pendidikan : (1) Pendidikan dasar Umum, (2) Pendidikan dasar Akademik, dan (3) Pendidikan Keterampilan. Dari 16 mata pelajaran yang diangkut dalam kurikulum ini hanya terdapat lima mata pelajaran agama, yakni : Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqh, Sejarah dan Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Tiga mata pelajaran yang pertama ialah bagian dari tujuh mata pelajaran dalam jenis pendidikan dasar umum, sedang dua sisanya ialah bab dari delapan mata pelajaran dalam jenis pendidikan dasar akademik. Pada tingkat aliyah, struktur kurikulum berlainan antara satu jurusan dengan jurusan yang lainnya. Sesuai dengan kurikulum nasional 1984, pendidikan pada tingkat aliyah atau menengah atas biasa terdiri dari lima opsi jurusan : 1. A1 (ilmu-ilmu agama), 2. A2 (ilmu-ilmu fisika), 3. A3 (ilmu-ilmu biologi), 4. A4 (ilmu-ilmu Sosial), 5. A5. (Pengetahuan Budaya). Komponen kurikulum 1984 tingkat aliyah kebanyakan terbagi ke dalam dua acara :Program Inti dan Program Pilihan. Termasuk ke dalam acara inti yakni pendidikan agama yang mencakup lima mata pelajaran dan pendidikan dasar umum yang terdiri dari 19 mata pelajaran. Sedangkan dalam program pilihan cuma menampung pendidikan pengembangan yang kandungan atau agen rahasia pelajarannya berbeda antara satu jurusan dengan jurusan lainnya.
Pada dasarnya SKB tiga Menteri ini merupakan langkah strategis untuk menghilangkan fikiran tehadap keberadaan madrasah yang selama ini termajinalkan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perbedaan yang mendasar bagi lulusan sekolah biasa dan madrasah. Dalam hal ini, Haidar Putra Daulay setidaknya menerangkan dua hal yang fundamental dalam perbedaan tersebut : pertama, di dalam potensi untuk melanjutkan studi. Dalam hal ini lulusan madrasah tidak memiliki peluang untuk memasuki universitas negeri, mereka cuma bisa melanjutkan ke akademi tinggi agama seperti IAIN atau akademi tinggi agama swasta. Setelah adanya SKB tiga Menteri ini, maka lulusan madrasah telah mempunyai kesempatan untuk memasuki universitas lazim negeri. Kedua, yakni dari peluang bekerja. Sebelum lahirnya SKB tiga Menteri peluang untuk menjadi pengawai negeri maupun swasta, bagi alumnus madrasah cuma terbatas dalam lingkungan Departemen Agama atau lembaga keagmaan saja, tetapi dengan SKB tiga Menteri ini peluang itu lebih luas[11].
3. Madrasah dalam UU Sikdinas No 2 Tahun 1989
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 wacana Sistem Pendidikan Nasional ialah undang-undang yang sudah menyebabkan madrasah selaku sub tata cara dalam pendidikan nasional. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan perihal ketentuan jalur dan jenis pendidikan, berhubungang dengan madrasah maka dalam undang-undang tersebut madrasah digunakan dengan istilah sekolah keagamaan, hal ini berarti bahwa madrasah ialah forum yang serupa mirip sekolah pada setiap tingkat dan jenisnya.
Mengenai hal diatas, Maksum menjelaskan implikasi dari UUSPN terhadap pendidikan madrasah mampu diperhatikan pada kurikulum dari semua jenjang pendidikan madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah hingga dengan Aliyah. Secara lazim perjenjangan itu pun paralel dengan perjenjangan pada pendidikan sekolah, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, hingga dengan Sekolah Menengah Umum. Di bawah ketentuan yang terintegrasi itu, Madrasah Ibtidaiyah ialah SD Berciri Khas Islam, Madrasah Tsanawiyah ialah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Berciri Khas Islam, keduanya-duanya, MI dan MTs, termasuk dalam Kategori pendidikan dasar[12]. Sedangkan Madrasah Aliyah, pada dasarnya dikategorikan selaku Sekolah Menengah biasa Berciri Khas Islam[13].
Keterangan diatas menjelasakan bahwa intinya undang-undang tersebut menginginkan persamaan kurikulum pendidikan diantara madrasah dan sekolah umum pada setiap jenis dan jenjangnya. Mengenai kurikulum ini dipertegas dengan Keputusan Menteri Agama RI No. 372 Tahun 1993 Tentang Kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Agama Islam. Adapun kutipan dari Keputusan Menteri Agama tersebut, sebagai berikut :
“ adapun isi kurikulum pendidikan dasar yang berciri khas agama Islam, di samping wajib menampung materi kajian sebagaimana tersebut diatas, juga wajib menampung bahan kajian sebagai ciri khas agama Islam, yang tertuang dalam mata pelajaran agama dengan uraian selaku berikut : a. Qur’an Hadis, b. Aqidah Akhlak, c. Fiqh, d. Sejarah Kebudayaan Islam, dan e. Bahasa Arab yang diselenggarakan dalam iklim yang menunjang pembentukan kepribadian muslim”.
Dengan adanya Keputusan Menteri Agama tersebut, maka jelaslah kurikulum madrasah selain menampung mata pelajaran biasa sebagaimana yang biasanya termuat dalam kurikulum sekolah kebanyakan, kurikulum madrasah juga memuat pelajaran agama, dan muatan pelajaran agama inilah yang menyebabkan madrasah sebagai sekolah berciri khas Islam.
Mengenai eksistensi madrasah Aliyah, pemerintahan dalam hal ini Departemen Agama lewat menterinya, mengeluarkan Keputusan Menteri agama No. 370 Tahun 1993, dimana dalam keputusan tersebut diterangkan bahwa madrasah Aliyah yaitu sekolah Menengah biasa yang berciri agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Jika PP No. 29 Tahun 1990 membagi pendidikan menengah kepada : pendidikan Menengah Umum, Pendidikan Menengah Kejuruan, Pendidikan Menengah Keagamaan, Pendidikan Menengah Kedinasam, dan Pendidikan Menengah Luar biasa, sehingga berdasarkan Keputusan Menteri Agama tersebut, maka madrasah Aliyah dibagi terhadap dua macam acara pendidikan. Pertama, madrasah Aliyah yang kurikulumnya dan studinya sama dengan Sekolah Menengah Umum, dan yang kedua ialah madrasah Aliyah Keagamaan.
Mengenai kurikulum madrasah Aliyah dalam Keputusan Menteri tersebut, maka bergotong-royong kurikulum madrasah memuat beberapa mata pelajaran umum, sebagaimana yang ada pada kurikulum Sekolah Menengah Umum, dan juga memuat pelajaran agama (Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab), sama seperti madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, keberadaan pelajaran agama dalam madrasah Aliyah menjadikannya sebagai Sekolah Menengah Umum berciri khas agama Islam. sehubungan dengan hal ini, Haidar menyatakan bahwa tujuan madrasah Aliyah tersebut ada dua, pertama perluasan wawasan dan kenaikan keterampilan siswa , kedua pelaksanaan ciri-ciri keislamannya[14].
Mengenai madrasah Aliyah Keagamaan (MAK), ialah madrasah yang memuat mata pelajaran agama sebesar 70 % dan pelajaran umum sebanyak 30 %. Tujuan dari acara madrasah ini yaitu merencanakan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus perihal pedoman agama Islam.
4. Madrasah dalam UU Sikdinas No. 20 Tahun 2003
Pada dasarnya keberadaan madrasah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tidak jauh berbeda dari apa yang tertuang dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, namun dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 penyebutan madrasah secara nomenklatur telah tertuang dalam batang badan undang-undang tersebut. Hal ini mampu dilihat dalam pasal 17 ayat (2), yang berbunyi : Pendidikan dasar berbentuk SD (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (Sekolah Menengah Pertama) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Dan pada pasal 18 ayat (3), yang berbunyi : Pendidikan menengah berupa Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Penjelasan diatas, memastikan bahwa eksistensi madrasah semakin kuat dalam integrasi pendidikan nasional. Sehingga eksistensinya sebagai sekolah berciri khas agama Islam makin besar lengan berkuasa dalam pendidikan nasional. Namun yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini yakni bahwa dengan adanya pengesahan yang besar lengan berkuasa kepada keberadaan madrasah sebagai sekolah lazim berciri khas agama Islam, adalah mengenai kualitas lembaga tersebut dalam mencetak para lulusannya. Tentunya dengan berciri khas agama Islam yang disandarkan pada madrasah, maka lulusan madrasah haruslah lebih unggul dari lulusan sekolah, ialah lulusan madrasah ialah lulusan yang tidak cuma kualified dalam pelajaran biasa , tetapi juga kuliafied dalam pelajaran agama. Tentunya dalam hal ini ialah tantangan tersendiri bagi madrasah tersebut.
Demikianlah beberapa dinamika yang terjadi pada keberadaan madrasah sehabis Indonesia merdeka. Diawali dari hanya selaku lembaga yang menunjukkan pelajaran agama selaku mata pelajaran pokok, berevolusi sebagai forum yang termasuk dalam subsistem pendidikan nasional, hingga karenanya madrasah menjadi metode yang integratif dalam metode pendidikan nasional, dimana madrasah tersebut merupakan sekolah lazim yang berciri khas Agama Islam.
Madrasah yang merupakan sekolah bercirikan agama Islam, pada dasarnya merupakan akreditasi yang dilematis yang ditujukan pada madrasah. Di satu sisi madrasah sebagai sekolah biasa yang berciri khas agama Islam dituntut supaya mampu mencetak para lulusan yang tafaquh dalam ilmu agama, namun di segi yang lain muncul sebuah keraguan apakah mungkin lahir lulusan yang tafaquh dalam ilmu agama bila pelajaran agama cuma tersaji 30 % dalam madrasah.
Pengakuan dilematis tersebut bukanlah tidak berdalih, dalam hal ini Hasan Asari menerangkan bahwa madrasah tetaplah madrasah dalam nama, tetapi dia sudah berubah hampir sepenuhnya dalam hakikatnya. Jika dahulu Syaikh Muhammad Thaib Umar merasa bahwa cita-citanya terwakili oleh “Madrasah-School” , maka madrasah kini lebih tepat diwakili oleh “School-Madrasah”. Syaikh M. Thaib Umar mengharapkan madrasahnya meningkat dengan jati dirinya sendiri sambil menyerap komponen-komponen terbaik dari dunia persekolahan. Dewasa ini impian yang mayoritas, sepertinya yakni bagaimana semoga madrasah berkembang secepat mungkin sehingga menjadi sama dengan sekolah[15].
BAB III
PENUTUP
Makalah Madrasah Setelah Indonesia Merdeka
PENUTUP
Makalah Madrasah Setelah Indonesia Merdeka
Pengakuan kepada keberadaan madrasah mengalami perjalanan yang panjang dalam metode pendidikan nasional. Di awal kemerdekaan keberadaan madrasah sangat termajinalkan bahkan keberadaannya dianggap tidak ada. Hal ini disebabkan muatan kurikulumnya yang memuat pelajaran agama Islam sebagai kurikulum pokok pada madrasah, di lain pihak terjadi perdebatan diantara pengabaian pendidikan islam dan pengakuannya.
Eksistensi madrasah tidak dapat dipisahkan dari tugas aktif pemerintahan dalam hal ini Departemen Agama. Departemen Agama yang merupakan representasi dari umat Islam, di permulaan kemerdekaan telah melakukan perbaikan kepada madrasah, yakni dengan menunjukkan pemberian kepada madrasah, baik berupa pertolongan material maupun panduan dalam penyelenggaraan madrasah tersebut. Tidak cuma hingga disitu, Depertemen Agama pun mengeluarkan kebijakan untuk melakukan penegerian beberapa madrasah. Penegerian ini mempunyai arti bahwa pemerintah mulai mengakui keberadaan madrasah sebagai lembaga pendidikan resmi, yang tentunya juga berimbas terhadap pengelolaan madrasah tersebut diselenggarakan oleh pemerintah pula.
Namun pada perkembangannya, status negeri yang sudah dimiliki oleh beberapa madrasah tidaklah bisa melepas dari belenggu lembaga yang termajinalkan dari sekolah pada umumnya, hal ini dibuktikan masih sempitnya ruang gerak bagi lulusan madrasah dalam meraih pendidikan yang lebih tinggi, bahkan lulusan madrasah cuma memiliki lapangan kerja yang sungguh kecil, ialah hanya terbatas pada Departemen Agama, dan lembaga lainnya yang cuma terkait dengan keagamaan saja.
Menyahuti persoalan yang dialami oleh lulusan madrasah tersebut, maka Departemen Agama melaksanakan kebijakan berupa mengeluarkan SKB tiga Menteri.Sehingga dengan SKB Tiga Menteri tersebut eksistesnsi madrasah menjadi setara dengan sekolah, artinya lulusan madrasah memiliki peluang yang sama dengan lulusan sekolah dalam meraih pendidikan yang lebih tinggi, maupun garapan lapangan pekerjaan. Selanjutnya madrasah pun makin eksis dalam pendidikan nasional, bahkan menjadi pendidikan yang integratif dalam metode pendidikan nasional, yang diketahui sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam.
Yang menjadi perhatian bahwa madrasah yang merupakan sekolah berciri khas agama Islam, jangan diketahui hanya sekedar simbolik saja, ialah madrasah jangan hanya diketahui selaku sekolah yang bertemaislami, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu madrasah harus bisa menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai keislaman pada setiap bidang pelajaran yang termuat dalam kurikulumnya. Tentunya hal ini berimbas kepada keperluan para guru madrasah yang bisa mengintegrasikan wawasan imtek dan imtaq. Dan untuk menciptkan guru madrasah tersebut pastinya IAIN maupun UIN mesti bisa menjadi balasan bagi penyediaan guru madrasah. Sehingga hal ini berimbas kepada kesiapan IAIN maupun UIN sebagai pendidikan tinggi Islam, dalam hal ini Fakultas Tarbiyah, membuka program studi-studi lainnya di samping jurusan keguruan Islam yang lain, mirip tadris Matematika, tadris IPA, tadris IPS, dan tadris yang lain. Hal ini dibutuhkan, sehingga fakultas Tarbiyah menjadi idola dalam mencetak guru-guru madrasah yang berkompeten selaku guru yang bisa mengitegrasikan imtaq dan taqwa terhadap murid-muridnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Asari Hasan, Esai-Esai Sejarah, Pedidikan , dan Kehidupan, (2009), Bandung : Citapustaka Media Perintis.
- Daulay Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren dan Madrasah, (2001), Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.
- -------------------------, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (2009), Jakarta : Kencana, Cet. Kedua.
- Dawam Ainurrafiq dan Ta’pintar Ahmad, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (2004), Sapen : Lista Fariska Putra.
- Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (1999), Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
- Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (2004), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. Kedua.
- Shaleh Abdul Rahman, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa : Visi, Misi, dan Aksi, (2005), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
---------------------
[1] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’berilmu, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (Sapen : Lista Fariska Putra, 2004), h. 49
[2] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 75
[3] Ibid
[4] Abdul Rahman Shaleh, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa : Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 24
[5] Ibid
[6] Ibid, h. 26
[7] Haidar Putra Daulay, Ibid, h. 76
[8] Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana ILmu, 1999), h. 151-151. Dalam penjelasan catatan kakinya, Ia menerangkan Zakiyah Derajat menyambut formula 30 %-70 % itu dengan semangat kurikulum 100 %-100 % dengan pengertian di dalam pelajaran agama dimasukkan pelajaran umum dan di dalam pelajaran lazim dimasukkan pelajaran agama, sehingga keduanya merupakan pelajaran yang integratif.
[9] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), Cet. Kedua, h. 176
[10] Maksum, Ibid, h. 153
[11] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2009), Cet. Kedua, h. 105
[12] Mengenai hal tersebut, tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No.368/93 tanggal 22 Desember 1993, Lihat juga PP No. 28 tahun 1990 disebutkan pada bagian III pasal 4 ayat (3) : Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah.
[13] Lihat Keputusan Menteri Agama No. 370 Tahun 1993
[14] Haidar Putra Daulay, Op. Cit, h. 114
[15] Hasan Asari, Esai-Esai Sejarah, Pedidikan , dan Kehidupan, (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 103
EmoticonEmoticon