A. PENGERTIAN TAKLID DAN HUKUMNYA Taklid Artinya: Menurut Bahasa berasal dari kata qallada yang artinya mengikat atau mengikut Menurut Istilah Mengamalkan ucapan orang lain tanpa didasari oleh suatu dalil. Taklid adalah mengamalkan ucapan orang lain tanpa mengetahui landasan dan basis alasan yang digunakan. Bertaklid tidak senantiasa identik dengan mengikut secara sembarangan atau dalam bahasa Arab umumdisebut dengan taqlidul a’ma (tanpa sama sekali memikirkan apakah pendapat yang diikuti itu benar ataukah sesat). Dalam kehidupan beragama, taklid memang tidak bisa disingkirkan. Seorang anak kecil yang sedang mencar ilmu agama seperti tata cara berwudlu, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah mahdlah yang lain pasti beliau mengikuti begitu saja apa yang dibilang oleh gurunya tanpa membantah atau menanyakan argument-argumen yang dipakai oleh gurunya. Begitu pula orang yang telah bau tanah bau tanah gres mencar ilmu agama atau orang yang kecerdasannya kurang. Tentu orang yang demikian tidak mampu dibebani hal-hal yang berat. Jika mereka harus dipaksa untuk mengenali seluruhnya secara rincian hingga kepada dalil-dalilnya maka mereka akan merasa keberatan dan justru enggan beribadah. 77 Meskipun demikian bukan berarti kita membiarkan orang untuk senantiasa mengikuti usulan orang lain tanpa menanyakan dasar hukum yang digunakannnya. Oleh alasannya adalah itu, dibentuknya berbagai pengajian, dalam NU ada yang namanya Bahtsul Masail. Bahtsul masail yakni salah satu sarana untuk meningkatkan kwalitas keilmuan seseorang biar lebih tinggi lagi. Harapannya biar mereka tidak menjadi muqallid a’ma adalah orang yang mengikut pendapat orang lain tanpa didasari wawasan kepada argumen yang diguanakan oleh orang tersebut. Akan namun bukan berarti bahwa orang yang sudah mengetahui sekilas dalil-dalil dalam agama itu sudah bisa dibilang tidak bertaklid. Sebab bagaimana pun juga ia belum menyanggupi syarat untuk menjadi mujtahid. Taklid ialah mengamalkan ucapan orang lain tanpa mengenali landasan dan basis alasan yang dipakai. B. HUKUM TAKLID MENURUT AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH Asy-Syaukani mengomentari persoalan ijtihad dan taklid. Ia beropini bahwa ijtihad wajib bagi orang yang memiliki kwalifikasi mujtahid dan melarang seseorang menjadi muqallid (bertaklid). Pendapatnya didasarkan terhadap firman Allah dalam Al-Qur’an: 78 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian bila kamu berlawanan Pendapat wacana sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kau betul-betul beriman terhadap Allah dan hari lalu. (QS An- Nisa: 59) Menurut Asy-Syaukani taklid dihentikan dalam agama Islam karena Allah menyuruh umat Islam mengembalikan perasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya bila mereka bertikai pertimbangan . Akan tetapi, mereka kalau tidak mampu menerima tanggapan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi, maka mereka ditugaskan untuk berijtihad sesuai dengan pandapatnya sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabbal. Pandapat Syaukani di atas dapat diterima oleh pengikut empat madzhab, akan namun persoalan yang muncul adalah, bagaimana bila seseorang tidak mempunyai kualifikasi dalam berijtihad? Dalam hal ini, menurut pengikut madzhab, dia harus bertaklid terhadap salah satu dari empat madzhab. Sebab jika orang yang awam dalam hukum agama melaksanakan ijtihad, maka yang terjadi ialah kerusakan dalam bidang agama karena setiap orang akan mempunyai pendapat yang berbeda- beda. Jika dengan empat mujtahid saja pendapatnya mampu bermacam-macam bagaimana jikalau setiap orang bebas melaksanakan ijtihad? Tentu banyak urusan akan terbengkalai alasannya setiap orang menyiapkan diri untuk menjadi mujtahid. Mengomentari problem ini, Asy-Syaukani beropini bahwa orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad maka beliau diperintahkan mengajukan pertanyaan kepada mujtahid ihwal pertimbangan mereka diikuti argumen-argumennya. Cara inilah yang dipraktekkan oleh para sahabat dan tabi’in. Dengan cara ini mereka tidak lagi disebut selaku orang yang bertaklid, akan namun naik satu tingkat lebih tinggi, adalah orang yang berittiba’ (mengikuti pertimbangan orang lain tetapi mengenali dalilnya). Dengan demikian ia tidak haram. 79 Dari sedikit paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad yaitu tugas para ulama yang mempunyai kualifikasi berijtihad. Sedangkan bagi orang yang belum mempunyai kualifikasi ijtihad, maka ia diperintahkan untuk mengajukan pertanyaan terhadap para ulama sekaligus meminta penjelasan argumen atau dalil yang dipakai. Perintah bertanya kepada ulama ini juga terdapat di dalam Al-Qur’an: Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki wawasan jika kau tidak mengetahui (QS An-Nahl: 43) Jika seseorang tidak memiliki kualifikasi dalam berijtihad, dia mesti bertaklid kepada salah satu dari empat madzhab. Tujuannya biar tidak terjadi kerusakan sebab memaksakan untuk berijtihad padahal tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Makara, ada taklid yang diharamkan dan ada taklid yang dibolehkan. 80 Adapun taklid yang diharamkan ialah selaku berikut: Ke-NU-an Ahlussunnah Waljama’ah An-Nahdliyyah Kelas 11 MA/SMA/Sekolah Menengah kejuruan 1. Taklid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pertimbangan nenek moyang atau orang-orang terdahulu sedangkan pertimbangan mereka berlawanan dengan Al-Quran dan hadits. 2. Taklid terhadap seseorang yang tidak dikenali kemampuan dan keahliannya. 3. Taklid perihal iman/keimanan bagi yang mampu berfikir. Adapun bagi orang yang tidak bisa berfikir (dungu) maka hukumnya boleh dengan catatan tidak tercampur dengan keraguan. Dengan demikian orang wajib berfikir dalam persoalan keimanan, kecuali bagi mereka yang tidak mampu sama sekali (dungu), itupun harus dengan perasaan mantap. 4. Taklid terhadap perkataan atau pendapat orang sedangkan orang yang bertaklid mengetahui bahwa usulan orang itu salah. Adapun aturan taklid yang dibolehkan yakni taklidnya orang awam perihal aturan Islam, namun orang awam tersebut masih diwajibkan untuk selalu menuntut ilmu dan meningkatkan kwalitas diri terhadap wawasan hukum-hukum Islam. Ingat.. Ada taklid yang di perbolehkan dan ada taklid yang tidak diperbolehkan. Walaupun ada taklid yang di perbolehkan, menuntut ilmu yakni kewajiban bagi orang islam. Itu selaku upaya untuk menghemat taklid. Ke-NU-an Ahlussunnah Waljama’ah An-Nahdliyyah Kelas 11 MA/Sekolah Menengan Atas/Sekolah Menengah kejuruan 81 C. DASAR DIPERBOLEHKANNYA TAKLID 1. firman Allah: Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jikalau kamu tidak mengetahui, (QS An-Nahl: 43) Ayat di atas memperlihatkan perintah terhadap orang-orang yang tidak mengenali untuk taklid kepada para mujtahid. 2. Tidak semua teman menjadi mufti atau kawasan bertanya para sobat yang lain. Banyak juga sahabat yang masih awam. Mereka juga bertanya dan mengikut para sahabat yang menjadi mujtahid. Dan jumlah orang awam itu jauh lebih banyak ketimbang orang yang pintar. D. ITTIBA’, TARJIH DAN TALFIK 1. I ttiba’ Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab: Kata Artinya ) ا ت َ َ ب َ ع ( itta b a ’ a Berarti mengikuti ) ا ق تفاء ( iqtifa ’ Menelusuri jejak Qudwah ( قدوة ) Bersuri acuan Uswah ( و ة � � أ ) Berpanutan 82 Sedangkan menurut ungkapan ittiba’ ialah mengikuti pertimbangan seseorang baik itu ulama atau yang yang lain dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan: “Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).” Ke-NU-an Ahlussunnah Waljama’ah An-Nahdliyyah Kelas 11 MA/SMA/Sekolah Menengah kejuruan Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dihentikan, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain yakni melaksanakan pemikiran-pemikiran agama Islam sesuai dengan yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW. Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkan- lah. dan bertakwalah terhadap Allah bahwasanya Allah amat keras hukumnya. (Al hasr:7) Ittiba’ yakni mengikuti usulan orang lain dengan mengetahui dalil atau argumennya. Misalnya seseorang mengikuti pendapat Imam Syafii tentang wajibnya membaca Al-Fatihah dalam shalat, maka dia mesti mengetahui juga dalil-dalil yang mengharuskan membaca Al- Fatihah dalam shalat. Begitu pula dalam masalah-masalah fikih lainnya. 83 Dalam suatu problem kadang masa ada dua dalil yang berlainan. Apabila dalil tersebut bisa dikompromikan, maka harus dikompromikan. Apabila salah satu nasikh (meniadakan) dan yang satunya lagi mansukh (yang dihapus) maka yang digunakan ialah dalil yang nasikh. Apabila ada sababun nuzul (alasannya adalah turun ayat) atau sababul wurud (alasannya adanya hadits) maka perlu diteliti barangkali ada konteks yang bekerjasama. Apabila haditsnya ada yang shahih dan ada yang dla’if, maka lebih dikuatkan hadits yang shahih. Namun jika dalil-dalil itu telah tidak mampu dikompromikan lagi mesti ditempuh jalan tarjih ialah menguatkan salah satu di antara keduanya. 2. Tarjih Tarjih ialah menguatkan salah satu dari dari dua dalil atas yang lain, sehingga diketahui lebih berpengaruh kemudian diamalkan, dan dalil yang lemah disisihkan. Makara yang dimaksud dengan Tarjih yakni memenangkan salah satu di antara dua dalil yang berlawanan, alasannya ternyata yang satu lebih berpengaruh dari pada yang yang lain Misalnya, ada hadits dari Abu Hurarah bahwa orang yang pada waktu shubuh masih dalam kondisi junub (belum mandi besar) maka tidak sah puasanya. Akan namun, di segi lain ada hadits dari Aisyah bahwa pada bulan rahmat Nabi dalam kondisi junub (belum mandi besar) dan Nabi tetap melanjutkan puasanya. Kedua dalil itu bertentangan, keduanya besar lengan berkuasa, tidak ada informasi nasikh dan mansukh. Maka hadits Aisyah lebih dikuatkan karena Aisyah adalah istri Nabi yang jauh lebih mengetahui seluk beluk kehidupan rumah tangga dia daripada Abu Hurairah, termasuk dalam hal junub dan mandinya. Menguatkan salah satu hadits inilah yang disebut sebagai tarjih. 3. Talfik Talfik berdasarkan bahasa Berarti melipat, manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berlainan” Taklif menurut perumpamaan Mengambil atau mengikuti aturan dari sebuah insiden atau insiden dengan mengambilnya dari banyak sekali macam madzhab. Talfik yakni menggunakan dua madzhab dalam satu amal tindakan. Misalnya, seseorang mengikuti madzhab Imam Syafi’i dalam hal mengusap sebagian kepala, namun ia memakai madzhab Imam Maliki seperti tidak wajib membaca basmalah dalam shalat. Dan memakai madzhab Hanafi dalam hal tidak batalnya bersinggungan antara pria dan perempuan. 84 Orang yang demikian tidak sah shalatnya. Sebab wudlunya tidak sah menurut Imam Maliki alasannya adalah hanya mengusap sebagian kepala dan tidak seluruhnya. Sedangkan shalatnya tidak sah berdasarkan Imam Syafii alasannya tidak membaca basmalah dalam Al-Fatihah. Dan wudlunya juga batal menurut Imam Syafii sebab dia bersentuhan dengan perempuan cukup umur yang bukan muhrimnya. Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata- mata untuk melaksanakan pertimbangan yang paling benar sehabis meneliti dasar hukum dari pertimbangan itu dan meng- ambil yang lebih berpengaruh dasar hukumnya. E. PANDANGAN ULAMA USHUL DAN ULAMA FIKIH MENGENAI TALFIK Menurut para ulama ushul dan ulama fikih hukum talfik itu dihentikan jika dijalankan dalam satu perbuatan dan mencari yang ringan- ringan saja. Misalnya, dalam hal bersinggungan kulit antara pria dan 85 wanita mengikuti Imam Hanafi yang berpendapat tidak batal. Dalam hal mengusap kepala mengikuti Imam Syafi’i yang menganggap cukup mengusap sebagian kepala, tidak perlu semuanya. Dalam persoalan najis anjing mengikuti pendapat Imam Maliki yang mengatakan tidak najis. ika semua itu dikerjakan, maka ibadah orang tersebut tidak sah. Tidak sah menurut Imam Maliki sebab dia tidak mengusap seluruh kepala. Tidak sah menurut Imam Syafii sebab dan Hanafi sebab pakaiannya atau tubuhnya terkena najis anjing. Tidak sah berdasarkan Imam Syafi’i karena telah bersinggungan dengan wanita yang bukan mahram. Jika talfik itu dikerjakan dengan mencari yang lebih hati-hati, maka dibolehkan. Misalnya, dalam hal mengusap kepala mengikuti pertimbangan Imam Malik yang mewajibkan mengusap seluruh kepala. Dalam hal najisnya anjing mengikuti Imam Hanafi, Syafii, dan Hanbali yang berpendapat bahwa anjing yakni najis berat. Dalam hal bersentuhan kulit mengikuti pendapat Imam Syafii yang menganggap bahwa bersinggungan kulit antara laki-laki dan wanita sampaumur yang bukan muhrim adalah batal. 86 Menurut para ulama ushul dan ulama fikih hukum talfik itu dihentikan bila dijalankan dalam satu perbuatan dan mencari yang ringan-ringan saja. Dan talfik di perbolehkan apabila dilaksanakan dengan mencari kehati-hatian. F. 87 LATIHAN SOAL Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar! 1. Jelaskan pemahaman taklid secara bahasa dan perumpamaan! 2. Jelaskan hukum taklid menurut ahlussunnah waljama’ah! 3. Jelaskan pemahaman talfik berdasarkan bahasa dan ungkapan! 4. Jelaskan bagaimanakah talfik yang di perbolehkan dan yang tidak diperbolehkan! 5. Tuliskan dalil al-Qur’an yang menjadi dasar diperbolehkannya taklid! Sumber http://lets-sekolah.blogspot.com
pop
Kamis, 26 November 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon